BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra
merupakan cabang ilmu kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia sejak
dahulu. Adanya sastra ditengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan
kehadiran sastra tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial dan
budaya. Sampai pada saat ini sastra tidak saja dinilai sebagai sebuah karya
seni yang memiliki budi, imajinasi dan emosi, tetapi telah dianggap suatu karya
yang kreatif dan dimanfaatkan oleh manusia.
Karya sastra merupakan hasil dari
masyarakat dalam bidang kebudayaan. Sampai kini sastra merupakan saksi budaya
yang terus dikembangkan. Kedatangan sastra ditengah perkembangan teknologi
tantangan besar, dimana sastra harus mendapat memberi jalan bagi manusia untuk
memperoleh kehidupan, karena sastra memberi dan menyodorkan suatu karya yang
bernilai, sehingga tidak sedikit mengandung makna kebenaran.
Karya sastra ada karena adanya
dorongan dasar dari manusia itu sendiri untuk mengungkapkan dirinya. Sehingga
menaruh minat terhadap dunia realita yang berlangsung sepanjang hari dan
sepanjang zaman. Dalam kamus istilah sastra, Sudjiman (1990:71) mengatakan
bahwa “sastra adalah karya lisan atau lukisan yang memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan, dalam isi dan
pengungkapannya.”
Sebuah cerpen yang baik berusaha
menyajikan sebuah ide mengenai berbagai permasalahan yang terjadi dalam
kehidupan baik politik, moral, budaya, dan sosial. Hal ini menandakan bahwa
sastrawan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki keterampilan nilia yang
positif untuk dijadikan masukan bagi pembacanya yaitu masyarakat, dalam
mengatasi masalah yang terjadi dalam kehidupannya.
Untuk mengetahui nilai yang terdapat
dalam cerpen, pembaca tentu harus memehami betul makna keseluruhan dari cerpen.
Pengertian cerpen menurut Edgar Allan Poe (dalam Nurgiantoro, 2010:10) cerpen
merupakan sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira
berkisar antara setengah sampai dua jam
suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Secara
umum dapat disampaikan bahwa cerpen adalah cerita atau narasi (analisis
argumentasi) yang fiktif, tidak benar-benar terjadi tetapi dapat dilakukuan
secara hemat dan ekonomis. Inilah sebabnya dalam sebuah cerpen biasanya hanya
satu efek bagi pembacanya saja.
Sedangkan menurut kamus istilah
sastra (Zaidan, 2004:50) menyatakan bahwa cerita pendek adalah sebuah kisahan
yang memberi kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh, satu latar, dan
situasi dramatik. Cerita pendek tidak diperinci dengan hal-hal yang tidak
perlu. Oleh sebab itu, dibutuhkan unsur yang membangun yaitu unsur intrinsik
dan ekstrinsik. Unsur intrinsik berupa aspek formal seperti tema, latar, alur, gaya bahasa, sudut
pandang, penokohan dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik merupakan segi yang
membangun karya sastra dari luar seperti unsur nilai agama, nilai sosial, nilai
budaya, dan nilai hukum.
Hal ini menandakan bahwa unsur
ekstrinsik hadir dalam rangka membangun totalitas makna serta adanya kesatuan
dan keseluruhan isi yang ingin disampaikan pengarang. Sebagai masyarakat,
pengarang tidak mungkin lepas dari lingkungan budayanya sendiri. Seperti halnya
dalam kumpula cerpen “ Juru Masak”
karya Damhuri Muhammad tidak lepas dari budaya Sumatra,
terlebih suku Minang. Bagaimana pengarang begitu kuat mengeksplor tentang
tokoh-tokoh utama dalam cerpen-cerpennya.
Di dalam buku kumpulan cerpen Juru Masak ini merupakan kisah
pengalaman dan kebudayaan setempat dengan diwarnai imajinasi oleh pengarangnya
sendiri, sehingga menjadikannya lebih hidup dan nyata, seolah-olah pembaca ikut
merasai apa yang dialami tokoh utama dalam cerita tersebut, hal ini menandakan bahwa cerpen ini
benar-benar berkualitas dan bermutu. Dengan
membaca, dan mempelajari kumpulan cerpen “Juru Masak” ini pembaca diharapkan memperoleh nilai-nilai positif
dan manfaat yang dituangkan oleh pengarang. Khususnya bagi para siswa dan
pendidik.
Perkembangan suatu kebudayaan tidak
terlepas dari usaha-usaha menggali, mewariskan, dan melestarikan serta dapat
dilakukan melalui pendidikan baik formal mupun informal. Pembelajaran sastra di
SMA, harus menjadi perhatian serius dalam rangka mewariskan dan melestarikan
suatu nilai-nilai budaya. Pemahaman kebudayaan kepada siswa yang diambil dari
bahan ajar sastra khususnya cerpen sangat baik. Seorang guru haruslah
berhati-hati dalam memilih bahan sastra yang mengandung berbagai nilai itu.
Selain itu juga seorang guru harus bisa mengarahkan mana karya sastra yang
layak untuk kita ajarkan dan mengandung nilai-nilai positif yang bermanfaat
bagi siswa agar budaya yang dipelajari mudah diserap siswa maka, sudah
seharusnya para guru memberikan pengajaran sastra yang sesuai dengan kemampuan
dan perkembangan pendidikan siswa.
Sehubungan itu juga siswa
diarahkan untuk mengenal budaya daerah lain melalui karya sastra yang
dibacanya. Sehingga tujuannya tiada lain adalah agar para siswa dapat paham
tantang pesan-pesan sastrawan yang terkandung didalam karya sastra. Jika
dikaitkan dengan pembelajaran bahasa dan karya sastra Indonesia, kumpulan cerpen “Juru Masak” dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber karena cerpen ini lebih utama menceritakan tentang
unsur-unsur budayanya yang ada di Sumatera Barat, terlebih budaya Minangkabau.
Sehubungan dengan paparan diatas, penulis menganalisis unsur budaya yang
ada pada kumpulan cerpen “Juru Masak” karya
Muhammad Damhuri dengan menetapkan judul “Analisis Unsur Budaya Dalam Kumpulan
Cerpen Juru Masak Karya Damhuri Muhammad
dan Rencana Pelaksanaan Pembelajarannya di SMA.”
1.2 Kajian yang Relevan
Penelitian kajian budaya terhadap karya sastra
telah dilakukan oleh Sugeng Wibowo, dia adalah salah satu mahasiswa program
studi Diksatrasia, penelitian itu berjudul Kajian
Budaya Novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajarannya di SMA. Penelitian ini khususnya pada budaya Tanah Belitong.
Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif dan teknis
analisis isi dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Penulis sendiri juga
menggunakan metode yang sama. Hanya saja yang membedakan peneliti dengan Sugeng adalah sumber datanya saja.
Berdasarkan latar belekang di
atas, maka penulis hanya menganalisis tujuh buah cerpen dari empat belas buah
cerpen (Sumanda, Juru Masak, Tamu dari Kampung,
Ratapan Gadis Suayan, Pawang Hujan, Jo Ampok, dan Tikam Kuku)
dalam sebuah kumpulan cerpen Juru Masak karya
Damhuri Muhammad yang dilatarbelakangi oleh unsur kebudayaan Minangkabau yang
terdapat dalam Kumpulan Cerpen Juru Masak. Lebih lengkapnya lagi judul
dalam penelitian ini adalah Analisis
Unsur Budaya dalam kumpulan Cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajarannya di SMA.
1.3 Fokus Penelitian
Fokus penelitian merupakan upaya untuk
membatasi masalah agar penelitian sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan,
sehingga penelitian tidak meluas dari objek yang sudah ditentukan sebelumnya. Berdasarkan
latar belakang, peneliti merumuskan fokus penelitian sebagai berikut:
1.
Unsur budaya dalam kumpulan cerpen “Juru Masak” karya Damhuri Muhammad.
2.
Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) mendengarkan dengan bahan ajar kumpulan cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad di kelas XI SMA.
3.
Dalam kumpulan cerpen Juru Masak penulis hanya mengambil tujuh buah cerpen (Juru Masak,
Sumanda, Tamu dari Kampung, Ratap Gadis Suayan, Jo Ampok, Tikam Kuku, dan
Pawang Hujan) yang terdapat dalam kumpulan cerpen Juru Masak.
1.4 Pertayaan Penelitian
Setiap
penelitian sudah tentu berawal dari adanya masalah, masalah penelitian harus
dirumuskan sejelas-jelasnya agar memenuhi komponen penelitiannya.
Adapun
pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Unsur budaya apa sajakah yang ada pada ketujuh
cerpen dalam kumpulan cerpen “Juru Masak” karya Damhuri Muhammad?
2.
Dapatkah disusun rencana pelaksanaan pembelajaran
mendengarkan dengan bahan ajar kumpulan cerpen
“Juru Masak” karya Damhuri Muhammad
di SMA?
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk:
1.
Menemukan unsur budaya yang terdapat dalam kumpulan
cerpen “juru Masak” karya Damhuri
Muhammad
2.
Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran mendengarkan
dengan bahan ajar kumpulan cerpen “Juru
Masak” karya Damhuri Muhammad di SMA.
1.6 Definisi
Istilah
Sebuah penelitian, pasti ada
beberapa tujuan yang ingin dicapai. Maka penelitian ini untuk mencapai suatu
tujuan yang diinginkan dan untuk menghindari kesalahpamahaman makna yang
terkandung dalam judul penelitian, maka istilah yang digunakan dalam penelitian
ini didefinisikan sebagai berikut.
1. Analisis dalam penelitian ini
adalah kegiatan menguraikan suatu pokok permasalahan, dalam hal ini
mengurai8kan tentang unsur budaya yang terdapat pada kumpulan cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad.
2. Cerpen merupakan sebuah
cerita rekaan yang lengkap tidak ada, tidak perlu ada, dan harus tidak ada
tambahan. (marahimin, 2005:113). Dalam penelitian ini penulis menggunakan
kumpulan cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad dilihat dari segi
budayanya.
3. Budaya adalah keseluruhan sistem gagasan
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (Koentjaraningrat, 2002:180).
4. Rencana
pelaksanaan Pembelajaran adalah proses menyusun media pembelajaran, penggunaan
pendekatan dan metode pembelajaran, dan penilaian dalam alokasi waktu yang akan
dilaksanakan pada waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan
(Majid, 2005:17). Dalam menyusun RPP, penulis menggunakan bahan ajar kumpulan cerpen
Juru Masak karya Damhuri Muhammad dengan standar kompetensi mendengarkan
di kelas XI SMA.
BAB II
NILAI BUDAYA CERPEN
DAN RENCANA
PELAKSANAAN PEMBELAJARANNYA DI SMA
2.1 Pengertian Cerpen
Dari sekian banyak bentuk sastra
seperi esai, puisi, cerpen, novel, dan drama tidaklah asing lagi bagi seseorang
yang mengenal sastra. Bentuk cerpen atau
juga bisa disebut prosa fiksi yang cukup digemari oleh pembaca sebab bentuknya
dan jumlah halaman tidak terlalu banyak dan dari sanalah kita sudah dapat
mengetahui siapa tokohnya, alur, settingnya, dan sebagainya tanpa harus
berlama-lama untuk membacanya.
Berkenaan dengan pemaparan di atas
mengenai cerpen dalam buku menulis secara populer (Marahimin, 2005:113)
menyatakan bahwa cerpen merupakan sebuah
cerita rekaan yang lengkap tidak ada, tidak perlu ada, dan harus tidak ada
tambahan. Sedangkan menurut Edgar Allan Poe (Nurgiantoro, 2010:10) menyatakan
cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira
berkisar antara setengah sampai dua
jam-suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.
Sementara dalam kamus istilah
sastra, Zaidan (2004:50) menyatakan bahwa cerita pendek merupakan kisahan yang
memberi kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu
situasi dramatik. Dalam hal ini penulis tegaskan bahwa cerpen bukanlah
penggalan dari sebuah novel. Tetapi cerpen merupakan suatu karya sastra yang
berkembang sendiri dan mempunyai kriteria serta penjelasan yang berbeda dari
karya sastra yang lainnya. Sehingga cerpen bukanlah bagian dari novel ataupun
penggalan novel.
Marahimin memberikan pengertian
tentang cerpen bahwa, cerpen merupakan cerita rekaan namun lengkap. Sedangkan
menurut Edgar cerpen merupakan bisa dibaca dalam waktu yang singkat, berkisar
antara setengah sampai dua jam saja. Dengan
demikian berdasarkan uraian di atas dan penjelasan dari tiga pengertian cerpen tersebut, penulis dapat menyipulkan
bahwa cerpen merupakan karangan karya sastra atau sebuah karangan prosa yang
mengambarkan tentang kehidupan yang mengandung nilai-nilai hidup namun cerita
rekaan yang dibuat dengan menggunakan unsur-unsur yang membangunya agar lebih
hidup dan cerita tersebut dapat dibaca dengan cepat tanpa berlama-lama. Sebab
cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu. Sehingga
pembaca dapat dengan cepat dan mudah menemukan apa isi cerita dalam karya sastra
tersebut terlebih cerpen.
2.2 Unsur-unsur Pembangun Cerpen
Cerpen
merupakan sebuah totalitas yang keseluruhannya bersifat artistik. Sebagai
sebuah totalitas, cerpen tentunya juga memiliki bagian-bagian. Seperti
unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya secara erat.
Sehingga cerpen dikatakan sebuah totalitas, unsur kata, bahasa, kata inilah
yang menyebabkan cerpen juga sastra pada umumnya sehingga menjadi terwujud.
Apabila sudah berbicara mengenai
unsur pembangun cerpen, maka kita akan berbicara tentang struktur. Struktur
secara garis besar di bagi atas dua bagian. Pembagian unsur dimaksud adalah
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Dari kedua unsur inilah yang sering
banyak disebut oleh para kritikus dalam rangka mengkaji, dan membicarakan
cerpen atau karya sastra pada umumnya.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur
yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisme suatu karya sastra, namun tidak ikut menjadi
bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur-unsur ekstrinsik tetap berperan
cukup berpengaruh dalam membangun
totalitas bangun cerita yang dihasilkannya.
Sementara itu, unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah
yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra unsur intrinsik dalam
sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta dalam
membangun ceritanya. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang
membuat sebuah cerpen berwujud. Atau
sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita sebagai pembaca, unsur-unsur cerita
inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah cerpen. (Nurgiantoro, 2010:23).
Sebuah cerpen biasanya memiliki
unsur-unsur yang membangunya seperti, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Adapun unsur intrinsik cerpen terdiri atas : (1) tema, (2) plot/alur, (3)
tokoh/penokohan, (4) latar/setting, (5) gaya
bahasa, (6) sudut pandang, dan (7) amanat. Sedangkan unsur ekstrtinsik terdiri
atas : (1) latar belakang pengarang, (2) aspek psikologis, dan (3) bangsa.
Berikut ini akan penulis uraikan
mengenai unsur-unsur intrinsik cerpen tersebut satu persatu.
1. Tema
Tema dalam suatu cerita dapat kita
ketahui ketika si pembaca mengetahui isi keseluruhan ceritanya. Sifat tema yang
baik biasanya tersamar pada keseluruhan cerita. Bila dalam suatu cerita temanya
sudah dipaparkan dalam judul yang dipilih, maka daya tariknya menjadi kurang.
Menurut Esten (1993:22) tema adalah
suatu yang menjadi pikiran, sesuatu yang menjadi persoalan bagi pengarang yang
diungkapkan dalam sebuah cipta sastra. Sementara Zaidan (2004:203) tema
merupakan gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan didalam karya
sastra yang dapat dirumuskan dalam kalimat pernyataan.
2. Alur
Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang memiliki
hubungan sebuah akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Plot
atau alur adalah unsur struktur yang berwujud jalinan peristiwa di dalam karya
sastra yang memperlihatkan kepaduan (koherensi) tertentu yang diwujudkan antara
lain oleh hubungan sebab akibat, tokoh,
tema, atau ketiganya (Zaidan, 2004:26).
Sedangkan, Nurgiantoro (2010:110)
mengungkapkan plot atau alur merupakan
unsur fiksi yang penting bahkan tak sedikit orang menganggapnya sebagai
yang penting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Sudjiman (1990:4) alur
adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu.
Sementara menurut Semi (1998:43)
Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun
sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Jadi, alur merupakan rangkaian peristiwa
atau struktur urutan kejadian dalam cerita, yaitu antara peristiwa yang satu
dengan yang lainnya saling berkaitan.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwasannya alaur merupakan struktur serangkaian kejadian
atau peristiwa dalam suatu cerita antara cerita satu dengan cerita yang lainnya
sehingga, dapat menimbulkan efek tertentu yang diinginkan oleh pengarang.
3. Tokoh dan
Penokohan
a. Tokoh
Menurut Zaidan, dkk. (2004:206)
tokoh adalah orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Dalam kaitan itu
penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat atau
kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita. Penokohan dapat dilakukan melalui teknik
kisahan dan teknik ragam. Watak dan sifat tokoh itu terlihat dalam lakuan fisik
(tindakan dan ujaran). Aminudin dalam (Siswanto, 2008:142) bahwa tokoh adalah
pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu
menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut
penokohan.
Berdasarkan uraian di atas, maka
tokoh adalah orang yang memerankan suatu cerita atau orang yang terlibat di
dalam sebuah cerita, dengan berbagi karakter yang dikehendaki oleh si penulis.
Dengan demikian adanya tokoh dalam sebuah cerita fiksi ini dimaksudkan agar
mudah dipahami oleh pembaca dalam mengikuti alur ceritanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan tokoh adalah suatu individu yang dibuat atau
diciptakan sengaja dengan rekaan oleh pengarang yang mengalami
kejadian-kejadian dalam berbagai peristiwa cerita tersebut.
b. Penokohan
Menurut Nurgiantoro (2010:172) penokohan
merupakan salah satu pembangun fiksi yang dapat dikaji dan dianalisis
keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jadi, penokohan adalah
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam
sebuah cerita. Sementara, Esten (1993:27) menjelaskan penokohan ialah bagaimana
cara pengarang menggambarkan dan menerangkan watak tokoh-tokoh dalam sebuah
cerita rekaan. Sedangkan menurut Arifin (1991:93) ialah cara pengarang
menggambarkan dan mengembangkan watak para pelaku yang terdapat di dalam
karyanya.
Pada umumnya penokohan dapat
ditampilkan dalam wujud manusia meskipun ada juga yang berwujud binatang atau
yang dilukiskan seperti tingkah laku manusia. Dari sejumlah cerita yang kita
kenal, tentu yang kita ingat adalah para tokohnya dan dari para tokoh itu tentu
akan menampilkan berbagai watak dan karakter dari masing-masing sehingga ada
tokoh yang baik dan ada pula tokoh yang jahat. Oleh karena itu, ada istilah
tentang tokoh protagonis dan antagonis. Kemudian ada juga istilah tokoh utama
dan tokoh bawahan.
Penokohan atau juga karakterisasi
adalah proses yang dipergunakan oleh seorang pengarang untuk menciptakan tokoh
fiksinya. Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui
karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal.
4. Latar
Latar atau bisa juga disebut dengan Setting, yaitu tempat atau waktu
terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar
adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan
dalam karya sasta (Sudjiman, 1990:48). Sementara menurut Zaidan, dkk.
(2004:118) latar adalah waktu dan tempat terjadinya lakuan didalam karya sasta
atau drama, atau dekor pemandangan yang dipakai didalam pementasan drama
seperti pengaturan tempat kejadian, perlengkapan, dan pencahayaan: tatanan.
Jadi, berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bawa latar merupakan tempat terjadinya atau tempat kejadian
suatu peristiwa dalam karya sastra. Dengan ini latar mempunyai peranan yang
sangat penting dan berhubungan erat dengan unsur yang lainnya. Latar banyak
meliputi diantaranya tempat, waktu, sejarah, kejadian, kegiatan tokoh.
5. Gaya bahasa
Aminudin dalam (Siswanto,
2008:158-159) gaya
bahasa merupakan cara seorang pengarang menyampaikan gagasan dengan menggunakan
media bahasa yang indah dan harmonis dan mamapu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Selanjutnya, Esten
(1993:28) menjelaskah bahwa gaya
bahasa adalah cara seorang pengarang mengungkapkan suatu pengertian dalam kata
(frase), kelompok kata dan kalimat.
Di dalam suatu karya sastra gaya bahasa sangatlah penting, tanpa gaya bahasa, sastra tidak ada. Betapapun dua
atau tiga pengarang mengungkapkan suatu tema, alur, karakter, atau latar yang
sama, hasil karya mereka akan berbeda bila gaya bahasa tidak ditonjolkan.
6. Sudut Pandang
Menurut Abrams dalam (Nurgiantoro, 2010:248)
sudut pandang (poin of view)
menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan, ia merupakan cara atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita, dalam sebuah
karya fiksi kepada pembaca. Jadi, sudut pandang pada hakikatnya merupakan
strategi, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan dan ceritanya.
Sementara menurut Zaidan (2004:194)
sudut pandang (poin of view) titik
tolak pengarang sebagai cerita lakuan yang berada dalam cerita atau penceritaan
dan yang berada dalam cerita atau pencerita dan yang berada dalam cerita; pusat
kishan. Sudut pandang dalam sebuah cerita fiksi, khususnya cerpen sangat
penting untuk meyakinkan para pembaca agar dapat memahami dengan jelas.
Nilai-nilai, sikap, dan pandangan hidup yang disodorkan melalui sudut pandang.
Menurut Stevick dalam (Nurgiantoro, 2010:251) sudut mempunyai hubungan
psikologi dengan pembaca. Pembaca
membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita. Pemahaman pembaca
pada sudut pandang akan menentukan seberapa jauh persepsi dan penghayatan,
bahkan juga dalam menilai terhadap cerpen itu sendiri.
Sudut pandang dipergunakan untuk
menentukan arah pandang pengarang terhadap peristiwa-peristiwa didalam cerita
sehingga tercipta suatu kesatuan cerita yang utuh. Oleh sebab itu, sudut
pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, dalam arti bahwa dia merupakan
sudut pandang yang diambil oleh pengarang untuk melihat peristiwa dan kejadian
dalam cerita.
Berdasarkan beberapa pengertian
di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut
pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya. Sudut pandang juga merupakan penentuan dari sisi mana pengarang
meninjau tokoh dalam suatu cerita.
7. Amanat
Menurut Sudjiman (1990:5) amanat
adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca atau pendengar. Sementara, Zaidan dkk. (2004:27)
amanat adalah pesan pengarang kepada pembaca baik tersurat maupun tersirat yang
disampaikan dalam karyanya.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan atau gambaran jiwa pengarang
dalam sebuah karya sastra dalam bentuk cerita yang ditulisnya untuk disampaikan
kepada pembaca atau pendengarnya.
Selain unsur intrinsik ada pula
unsur lainnya yang membangun cerita fiksi. Unsur itu disebut unsur ekstrinsik.
Jika, unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun sebuah karya
sastra di dalam teks karya sastra itu
sendiri, maka unsur ekstrinsik sebaliknya yaitu unsur yang ada diluar teks
sastra namun, dia mendukung dan berperan
keberadaan karya sastra itu sendiri.
Sedangkan unsur ekstrinsik akan
penulis uraikan sebagaimana yang diuraikan oleh Wellk & Werren dalam
(Nurgiantoro, 2009:24) sebagai berikut.
1) Unsur
biografi pengarang, usnsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya
yang dihasilkannya, 2) Aspek psikologi pengarang, aspek psikologi keadaan
lingkungan pengarang seperti ekonomi, budaya, politik, dan sosial juga berpengaruh
terhadap karya sastra, dan 3) Bangsa, pandangan hidup suatu bangsa serta
berbagai karya seni yang lain akan mempengaruhi terhadap karya sastra yang
ditulisnya.
Sedangkan menurut Zaidan, dkk (2004:67).
Unsur ekstrinsik adalah unsur luar yang dapat menjadi bahan pengarang dalam
menciptakan karya sastra atau menjadi bahan pertimbangan bagi pembaca, seperti
biografi, falsafah hidup, dan unsur budaya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang sangat mempengaruhi
terciptanya sebuah karya sastra meskipun unsur luar yang membangunnya, karena
hal ini menunjukan bahwa satu-kesatuan yang erat kaitannya. Suatu karya
bagaimanapun akan membantu dalam hal
pemahaman makna mengingat bahwa karya sastra tidak muncul dari situasi kekosongan
budaya.
2.3 Kebudayaan
2.3.1 Pengertian kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sangsekerta “buddayah” yaitu bentuk jamak dari budhi atau akal (Koentjaraningrat,
2002 :181). Sementara itu menurut Edward B. Tylor (Liliweri, 2007:107)
menyatakan bahwa budaya adalah kompleks dari keseluruha pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan
kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat (2002:108) budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Jadi, kebudayaan adalah hasil
budi atau akal manusia untuk mecapai kesempurnaan dalam hidup.
Sedangkan bagi kebanyakan orang, kebudayaan adalah akumulasi dari
keseluruhan kepercayaan dan keyakinan, norma-norma, kegiatan, intuisi, ataupun
pola-pola komunikasi dari sekelompok orang. Menutut Wahistrom, kebudayaan juga dapat diartikan sebagai
pengalihan atau sosialisasi perilaku, kepercayaan, seni intuisi, dan semua
karya intelektual dan karya lain dalam suatu masyarakat (Liliweri, 2007:108).
Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwasanya kebudayaan adalah
keseluruhan gagasan, baik karya dan akal budi manusia yang bersifat abstrak
serta dengan unsur sengaja menciptakan dan mengembangkan demi kepentingan,
kebutuhan, kedamaian, kesejahteraan dan kepuasan dalam hidupnya. Hal ini
menanjadikan bahwa pencita karya sastra merupakan cerminan dari suatu kehidupan,
baik nyata maupun tidak itu sama saja karena pada dasarnya karya sastra
merupakan cerita dengan penuh rekaan sebab terdapat unsur-unsur penambahan dari
sang pengarang, hal ini agar menandakan kesan nyata dalam penceritaan sebuah
karya sastra.
2.3.2 Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada
semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia.
Menurut Koentjaraningrat (2002:203-204)
ada tujuh unsur kebudayaan di dunia, yaitu: (1) Bahasa, (2) Sistem pengetahuan,
(3) Organisasi sosial (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) Sistem mata
pencaharian, (6) Sistem religi, dan (7) kesenian.
Berbagai unsur kebudayaan yang ada
dalam masyarakat berfungsi untuk memuaskan hasrat naluri bagi kebutuhan hidup
manusia. Dengan adanya unsur-unsur kebudayaan sistem nilai akan terlihat dan
diketahui dengan jelas. Unsur-unsur kebudayaan meliputi semua kebudayaan di
dunia, baik yang kecil, bersahaja dan terisolasi, maupun yang besar kompleks dan dengan hubungan yang luas.
Kebudayaan lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan
zaman manusia. Menurut Koentjaraningrat (2002, 186-187) wujud kebudayaan
dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari
ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan
suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat,
(3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
1. Gagasan
(Wujud ideal)
Wujud
ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai norma, norma, peraturan dan sebagainya yang sifatnya abstrak dan
tak dapat diraba. wujud kebudayaan ini
terletak dalam kepal-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat.
Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan,
maka lokasi dari kebudayaan ideal atau berada dalam karangan dan buku-buku
hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
2.
Wujud Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan,
serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi di dalam kehidupan
kita sehari-hari, dapat diamati, dan didokumentasikan.
3. Wujud
Benda (Karya)
Wujud adalah wujud kebudayaan
fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia. Berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dari
ketiga wujud kebudayaan yang telah
diuraikan di atas dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat. Antara wujud
kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain.
Sebagai contohnya: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberikan arahan kepada
tindakan (aktivitas) dan karya (aktivitas) dan karya (artefak) manusia,
menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Budaya atau kebudayaan lahir dan
berwujud sebagai hasil dari karya, cipta, rasa, dan karsanya manusia. Dalam hal
ini kebudayaan dapat diklasifikasikan atau dibedakan menjadi dua yaitu kebudayaan
lahiriyah dan kebudayaan batiniah.
Kebudayaan lahiriyah segala hasil kerja
pikiran manusia yang ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia atau dengan
kata lain kebudayan yang ada wujud lahirnya sehingga dapat dilihat dengan nyata,
diraba, maupun didengar dan pada umumnya bersifat bendawi dan atau ragawi.
Misalnya pakaian, rumah, alat-alat transportasi, alat-alat komonikasi,
alat-alat perdagangan dan sebagainya. Sebaliknya kebudayaan batiniah adalah
segala hasil kerja pikiran manusia untuk mencukupi segala kebutuhan rohani atau
dengan kata lain kebudayaan yang tidak ada wujud lainnya tidak dapat dilihat,
diraba maupun didegar akan tetapi dapat dirasakan. Misalnya ilmu pengetahuan,
kesenian, adat istiadat, cara berfikir dan sebagainya. Kedua wujud kebudayaan ini
saling berkaitan dan ketergantungan satu dengan yang lain. Kedua wujud
kebudayan itu pun selalu berkembang dalam masyarakat yang mana masyarakat sendiri juga menjadi
produsen dan konsumen kebudayaan itu sendiri.
Cerpen sebagai karya sastra terlahir dari kedua ciri
kebudayaan tersebut. Di dalam cerpen terdapat budaya lahiriyah sebagai budaya menulis dari pengarang
dan juga terdapat budaya batiniah, karana didalamnya terdapat nili-nilai
kehidupan manusia.
2.4 Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan
2.4.1 Pegertian dan Unsur-unsur Masyarakat
Menurut Koentjaraningrat (2002:144)
bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau
dengan istilah ilmiahnya, saling “berinteraksi”. Satu kesatuan manusia mempunyai
prasarana melaluli apa warganya dapat saling berinteraksi. Suatu negara modern
misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang
memungkinkan para warganya secara intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi.
Tidak semua kesatuan manusia yang
bergaul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat, sebab suatu masyarakat itu
mempuyai suatu ikatan lain yang khusus. Misalnya, sekumpulan manusia yang
sedang menonton pertandingan sepak bola, dan sebernarnya semua kerumunan
manusia penonton apapun, tidak disebut masyarakat. Kecuali ada ikatan
adat-istiadat khas meliputi sektor kehidupan serta seuatu kontinuitas dalam
waktu. Manusia juga harus memiliki ciri yang lain, dengan mencirikan identitas
diantara para warga atau anggotanya, merekapun merupakan suatu kesatuan khusus
yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manuasia lainnya.
Dari hasil uraian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang memiliki ciri
hidup bersama dan berdampingan disuatu tempat yang mempunyai ikatan-ikatan
tertentu dan saling berinteraksi dalam satu kesatuan secara khusus dan berbeda
dengan masyarakat satu serta yang lainnya. Menurut Koentjaraningrat (2002:143)
ada beberapa istilah secara khusus untuk menyebut satu kesatuan khusus yang merupakan
unsur-unsur dari masyaraka, yaitu kategori sosial, golongan sosial, komunitas,
dan perkumpulan. Dari unsur-unsur masyarakat yang ada, disini penulis akan
mencoba menjelaskan sedikit tentang pengertian kategori sosial dan golongan
sosial.
1. Kategori
sosial adalah kesatuan manusia yang terwujudkan karena adanya sesuatu ciri atau
suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dikenakan pada manusia-manusia itu.
Misalnya, dalam suatu masyarakat negara ditentukan melalui hukumnya bahwa ada
kategori warga diatas umur 18 tahun, dan dibawah umur 18 tahun, dengan maksud
untuk membedakan antara warga negara yang mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum.
2. Golongan sosial merupakan suatu
kesatuan manusia yang ditandai oleh ciri tertentu, bahkan seringkali ciri itu
dikenakan kepada mereka oleh pihak luarkalangan mereka sendiri. Contohnya, dalam
masyarakat masih ada satu kesatuan manusia yang disebut golongan sosial, yaitu
lapisan atau kelas sosial. Lapisan atau kelas sosial ini, dapat dianggap lebih
tinggi atau lebih rendah, tergantung dari orang yang memandangnya.
2.4.2 Konsep-Konsep dalam Masyarakat dan
Kebudayaan
Dalam menganalisis secara ilmiah
tentang gejala-gejala dan kejadian sosial budaya di masyarakat sebagai proses
yang sedang berjalan atau bergeser kita membutuhkan beberapa yang namanya
konsep. Konsep-konsep tersebut adalah sangat perlu dalam menganalisa proses
pergeseran masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian antropologi
dan sosiologi yang disebut sebagai dinamika sosial.
Menurut Fathoni (2006:23-24)
konsep-konsep penting tersebut antara lain mengenai proses belajar kebudayaan
oleh warga masyarakat yang bersangkutan, yaitu internalisasi, sosialisasi, dan
enkulturasi. Kemudian ada juga evolusi kebudayaan yang mengamati perkembangan
kebudayaan manusia dari bentuk yang sederhana hingga bentuk yang semakin lama
semakin kompleks. Kemudian ada juga proses difusi yaitu penyebaran kebudayaan
secara geografis, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi. Proses
lain adalah proses unsur kebudayaan asing oleh warga masyarakat yaitu proses
akulturasi dan asimilasi. Kemudian yang terakhir ada proses pembaharuan atau
inovasi yang berhubungan erat dengan penemuan baru.
Dari konsep mengenai dinamika
masyarakat dan kebudayaan tersebut akan dijelaskan secara jelas satu-persatu
dibawah ini.
1. Proses
Belajar Kebudayaan Sendiri
Internalisasi adalah proses panjang
sejak seorang individu dilahirkan dan sampai ia meninggal, di mana ia belajar menanamkan kepribadiannya dengan berbagai
perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi di dalam dirinya. Tetapi wujud dari
kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang berada
disekitar alam dan lingkungan sosial dan budayanya.
Proses
sosialisasi berkaitan erat dengan proses kebudayaan dalam hubungan dengan
sistem sosial. Dalam proses individu mulai dari masa kanak-kanak hingga masa
tuanya belajar pola tindakan-tindakan dalam interaksi dengan segala macam
individu yang ada disekelilingnya yang menduduki segala beraneka macam peranan
sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Para
individu dalam masyarakat yang berada akan mengalami proses sosialisasi yang
berbeda, karena proses sosialisasi itu banyak ditentukan oleh susunan
kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan.
Sedangkan proses enkulturasi adalah
proses seseorang individu dalam mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikap dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya. Kata enkulturasi sama dengan “pembudayaan” ini dalam bahasa Indonesia.
Seorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai
macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya memberi motivasi akan
tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadianya.
2. Proses
Evolusi Sosial
Proses evolusi dari suatu masyarakat
dan kebudayaan dapat dipandang dari dekat secara detail dan juga dipandang dari
jauh dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan yang tamapak besar saja.
Proses evolusi sosial budaya yang dianalisa secara detail akan membuka mata
seseorang peneliti untuk berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam
dinamika kehidupan sehari-hari dalam setiap masyarakat di dunia.
3. Proses Difusi
Proses difusi merupakan proses
penyebaran kebudayaan secara geografi, yang terbawa oleh pindahan bangsa-bangsa
di muka bumi. Salah satu bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan
dari satu tempat ke tempat yang lainnya di muka bumi ini, dan yang dibawa oleh
kelompok-kelopmok orang imigrasi. Namun, bisa juga tanpa adanya migrasi, tetapi
karena adanya individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan
itu, dan mereka adalah para pedagang dan pelaut.
4. Proses
Akulturasi dan Asimilasi
Akulturasi adalah proses sosial yang
ada apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan
dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan demikian rupa, sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun dapat diterima dan diolah
kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
itu sendiri.
Asimilasi adalah proses sosial yang
timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang
berbeda-beda. Kemudian saling bergaul langsung secara interaktif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan
golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya
masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan yang campuran.
5. Proses
Pembaruan atau Inovasi
Inovasi adalah proses pembaruan dari
penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan baru dari tenaga
kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem
produksi, dan dibuatnya produk-produk baru. Proses inovasi sangat erat
kaitannya dengan teknologi dan ekonomi. Dalam suatu penemuan baru biasanya
membutuhkan proses sosial yang panjang dan melalai dua tahap khusus yaitu discovery dan invention.
Discovery
adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa
suatu alat baru, ide baru, yang diciptakan oleh seseorang atau suatu rangkaian
dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Discovery baru menjadi inventation
apabila masyarakat sudah mengakui, menerima dan menerapkan penemuan baru itu.
Adapun
faktor pendorong bagi individu dalam sautu masyarakat untuk memulai dan
mengembangkan penemuan-penemuan baru antara lain:
1) kesadaran
para individu akan kekurangan dalam kebudayaan, 2) mutu dari keahlian dalam
suatu kebudayaan, dan 3) sistem perangsang bagi aktivitas mencipta dalam
masyarakat.
2. 5 Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis menaruh
perhatian pada sapek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa
sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya,
fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari,
bisa diobservasi, difoto, dan bisa didokumentasikan. Fenomena biasanya diangkat
kembali oleh pengarang menjadi wancana baru dengan proses kreatif (pengamatan,
analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi) dalam bentuk karya
sastra.
Pengarang merupakan anggota yang
hidup dan berhubungan dengan orang-orang berada disekitarnya, maka dalam proses
penciptaannya karya sastra seorang
pengarang tidak lepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu,
karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan
jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah
dihayatinya semasa perjalanan hidupnya.
Untuk mengetahui unsur budaya dalam
cerpen, maka dapat digunakan dengan diantaranya menggunakan pendekatan sosiologis.
Pendekatan ini berasumsi dari sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat
(Semi, 1993:73). Melalui karya sastra seseorang dapat mengungkapkan masalah
kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada didalamnya.
Maka, dengan demikian sebuah karya
sastra tidak akan pernah berangkat dari kekosongan sosial belaka. Maksudnya di
sini, karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan
menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatar belakanginya pula.
Adapun memanfaatkan pendekatan
sosiologis dalam penelitian sastra sebaiknya diperhatikan metode langkah
kerjanya seperti yang dijelaskan oleh Semi, (1993:75) sebagai berikut.
1.
Pengenalan tentang sosok pengarang dan segi sosial yang
ada pada karya sastra.
2.
Pengenalan terhadap falsafah atau pandangan hidup yang
dianut oleh pengarang, ideologi politiknya,
status sosialnya, pendidikannya dan kehidupannya.
3.
Menelaah aspek intrinsik karya sastra kususnya cerpen,
kaitannya dengan kepantingannya masyarakat serta misi sastra dalam meningkatkan
taraf kehidupan.
4.
Pengenalan terhapa resepsi, kesan dan sambutan
masyarakat tehadap karya sastra lain dari pengarang yang sama.
5.
Pengenalan tentang ada tidaknya tata nilai, etika, dan
budaya yang ada dalam karya sastra khususnya cerpen.
Untuk mengaplikasikan pendekatan ini, sastra tidak
dilihat sebagai keseluruhan, tetapi penulis hanya tertarik pada unsur
sosio-budaya didalamnya yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari
kesatuan karya. Sehubungan dengan analisis terhadap kumpulan cerpen Juru Masak, di sini penulis mengambil analisis unsur budaya yang
terdapat di dalam kumpulan cerpen tersebut.
Adapun langkah-langkah yang ingin
penulis lakukan dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang telah dijelaskan
oleh Semi.
1. Pengenalan
tentang sosok pengarang dan segi sosial yang ada pada karya sastra. Dengan ini
penulis mencoba mengenalakan sekilas tentang sosok pengarang Damhuri Muhamad
melalui riwayat hidupnya, dan mengetahui kehidupan sosialnya yang ada pada
karya sastranya.
2. Pengenalan terhadap falsafah atau pandangan hidup
yang dianut oleh pengarang, ideologi politiknya, status sosialnya,
pendidikannya, dan kehudupan agamanya. Dalam hal ini falsafah adalah berbicara
tentang hidup,persoalan keadilan, dan kebaikan masyarakat, termasuk pula
tentang status sosialnya, pendidikan serta menyangkut tentang kehidupan agama
yang di anut oleh pengarang.
3. Menelaah aspek intrinsik karya sastra khususnya
cerpen, kaitannya dengan kepentingan masyarakat serta misi sastra dalam
meningkatkan taraf kehidupan. Pertama, penulis harus mengenal tema, karena
makin besar manfaat terhadap masyarakat makin tinggi nilai yang di berikan
kepada karya sastra khususnya cerpen. Kedua, penulis juga harus mengenal watak
atau tokoh yang diperkenalkan pengarang yaitu tentang kegigihannya dalam
memperjuangkan dan membela masyarakat banyak. Ketiga, penulis juga harus
mengenal alur. Karena alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun
cerita sehingga merupakan kerangka utama sebuah cerita. Keempat, penulis juga harus
mengenal latar. Kerena latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang,
dan suasana terjadinya lakuan di dalam karya sastra khususnya cerpen. Kelima,
penulis juga harus mengenal gaya
bahasa yang diutaraka oleh pengarang di dalam karya sastranya. Keenam, penulis
juga harus mengenal yang namanya sudut pandang.
Karena visi pengarang, dalam artian bahwa dia merupakan sudut pandang
yang diambil oleh pengarang untuk melihat peristiwa dan kejadian dalam cerita
dan ketujuh adalah penulis juga aharus mengenal amanat yang ingin disampaikan
oleh pengarang dalam karya sastranya. Dalam hal ini pesan yang ingin disampaikan
pengrang kepada pembacanya.
4 Pengenal
terhadap resepsi, kesan dan sambutan masyarakat terhadap karya sastra lain dari
pengarang yang sama. Dalam hal ini pembaca atau masyarakat dapat memberi
penilaian atau tanggapan tentang hal-hal yang berhubungan dengan karya sastra
yang telah dibacanya. Respon atau sambutan masyarakat terhadapkarya sastrsa
yang telah dibacanya sangat penting sekali bagi kemajuan para pemegang, karena
dengan begitu pengarang akan lebih baik lagi kedepannya dalam mengekspresikan
pemikirannya melalui karya-karyanya.
5. Pengenalan
tentang ada tidaknya tata nilai, etika,dan budaya yang ada dalam karya sastra khususnya
cerpen. Dalam hal ini penulis hanya akan mencari unsur budayanya saja yang
terdapat didalam kumpulan cerpen Juru
Masak karya Damhuri Muhammad. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat di
dalam pertanyaan penelitian.
2.6 Pembelajaran
Cerpen di SMA
2.6.1
Tujuan Pembelajaran Cerpen di SMA
Tujuan pembelajaran cerpen di SMA sebagaimana yang telah diterangkan dalam
kurikulum 2006 (KTSP) tergabung dalam tujuan pembelajaran sastra pada khususnya.
Tujuan pembelajaran sastra tersebut adalah (1) menikmati dan menfaatkan karya
sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan
kemampuaan berbahasa, dan (2) menghargai serta membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
2.6.2
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sastra di SMA
Dalam pembelajaran sastra harusnya
disesuaikan dengan kompetensi-kompetensi yang terdapat pada aspek kemampuan
bersastra. Pembelajaran sastra dalam penelitian ini di fokuskan pada
pembelajaran kumpulan cerpen. Guru sastra haruslah pandai dalam memilih sebuah
karya sastra yang cocok untuk diajarkan pada siswa sesuai dengan tingkatan kebahasaan yang dikuasai.
Menurut Rahmato (1988:27-33)
terdapat tiga aspek penting untuk memilih
bahan
pembelajaran sastra, yakni aspek dari sudut bahasa, aspek psikologi, dan
latar belakang kebudayaan para siswa.
1. Aspek
bahasa, guru harus memilih bahan pembelajaran sastra dengan bahasa yang seusia
tingkat kebahasaannya. Misalnya memperhatikan kata, tata bahasa, ungkapan,
pengertian isi wacana, dan cara menuangkan ide.
2. Aspek
psikologi bahan pembelajaran sastra hendaknya disesuikan dengan tahap
perkembangan kemampuan dan psikologi siswa.
3. Latar belakang budaya, guru harus dapat memilih bahan
pembelajaran sastra yang menggunakan latar belakang cerita yang dikenal oleh
para siswa. Sebab dengan cerita yang disukai siswa akan memberi daya tarik
dalam mempelajari karya tersebut. kriteria tersebut, penulis gunakan sebagai dasar
persiapan dalam memilih bahan pembelajaran di SMA.
Karena kriteria itu sebagai dasar
persiapan untuk memilih bahan pembelajaran maka sudah meliputi berbagai
perkembangan kemampuan siswa. Untuk itu peningkatan pengajaran sastra akan
bertolak dari kebutuhan-kebutuhan siswa yang dianggap telah melewati tahap
penguasaan bahasa, tingkat dasar, dan sesuai dengan tahap psikologis siswa,
sebab harus adanya latar belakang budaya siswa dengan bahasa yang
diajarkan.
Dalam mempersiapkan bahan pembelajaran
sastra, guru haruslah memiliki wawasan yang memadai. Berkenaan dengan aspek
yang menjadi materi bahasannya, seorang guru sastra juga harus mempersiapkan
materi bahasan sastra yang nantinya akan di ajarkan kepada siswa dalam rangka
pembelajaran apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia.
Menurut Rahmanto, (1988:75-80) bahan
untuk mempermudah dalam pembelajaran sastra seorang guru haruslah melakukan
hal-hal sebagai berikut.
1) Pemilihan
edisi buku, 2) Mengawali pembicaraan dengan menyenangkan, 3) memberikan pentahapan belajar, 4)
Membuat cerita lebih hidup, 5) Menggunakan metode yang berfariasi, 6) membuat
catatan ringkas, dan 7) Pengkajian ulang.
2.6.3 Ruang Lingkup Pembelajaran
Sastra
Standar
kompetensi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA terdiri atas dua
aspek kemampuan berbahasa dan bersastra. Masing-masing terdiri atas sub aspek mendengarkan,
berbicara, membaca dan menulis.
1. Mendengarkan
Mendengarkan,
memahami, dan mengapresiasikan ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik
karya asli maupun saduran/ terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
2. Berbicara
Membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi
dan konteks lingkungan dan budaya.
3. Membaca
Membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra serta mampu
melakukan apresiasi secara tepat.
4. Menulis
Mengapresiasikan karya sastra yang diminati (pusi, prosa, drama) dalam
bentuk karya tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra
berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.
Berikut akan penulis uraikan standar
kompetensi dasar yang berhubungan dengan pembelajaran cerpen di SMA.
Kelas
XI, Semester 2
Standar Kompetensi
|
Kompetensi Dasar
|
Mendengarkan
13. Memahami
pembacaan cerpen
|
13.1
Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan
13.2 Menemukan
nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan.
|
Kelas X, Semester 1
Standar Kompetensi
|
Kompetensi Dasar
|
Berbicara
6. Membahas
cerita pendek melalui kegiatan diskusi
|
6.1 Mengemukakan
hal-hal yang menarik/ mengesankan dari cerita pendek melalui kegiatan diskusi
6.2 Menemukan
nilai-nilai cerita pendek melalui kegiatan diskusi.
|
Kelas X, Semester 1
Standar
Kompetensi
|
Kompetensi
Dasar
|
Membaca
7. Memahami
wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen
|
7.2
Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan
sehari-hari.
|
Kelas X, Semester 1
Standar
Kompetensi
|
Kompetensi
Dasar
|
Menulis
8.
Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi dan cerpen.
|
8.1 Menulis resensi buku kumpulan cerpen
berdasarkan unsur-unsur resensi.
8.2 Menulis
cerpen berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku, peristiwa, latar).
|
2.7 Rencana,
Fungsi, dan Metode Pelaksanaan Pembelajaran
2.7.1 Pengertian Pelaksanaan Pembelajaran
Perencanaan
pembelajaran dalam konteks pengajaran, dapat
diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran, pemilihan media pengajaran,
pemilihan pendekatan dan metode pengajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi
waktu yang dilaksanakan pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Sebagai landasan kurikulum, penelitian ini mengacu pada Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Majid (2005:17), menyatakan bahwa
rencana pelaksanaan pembelajaran adalah proses penyususnan meteri pelajaran.
Penggunaan media pembelajaraan, penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran,
dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa
tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sementara itu, menurut Mulyasa
(2008:212) rencana pelaksanaan pembelajaran adalah rencana yang menggambarkan
prosedur dan manajemen dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus.
Sedangkan Majid memberikan pengertian
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) lebih pada proses penyususnan yaitu dalam
menerangkan dalam berbagai elemen-elemen yang ada di dalam sebuah RPP.
Selanjutnya, pengertian rencana pelaksanaan pembelajaran yang disampaikan
Mulyasa lebih mengacu pada fungsinya yaitu merupakan pedoman bagi guru dalam
meraih tujuan yang sudah ditetapkan.
Berdasarkan dari dua pendapat diatas,
maka dapat disimpulkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rancangan
pembelajaran mata pelajaran yang digunakan guru sebagai acuan atau pegangan
dalam melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar di dalam kelas. Dengan
demikian, apa yang telah ada dalam RPP mencakup hal-hal yang berkaitan dengan
aktivitas pembelajaran dalam upaya pencapaian pembelajaran dengan kompetensi dasar yang sudah ditetapkan.
RPP dalam KTSP yang akan bermuara pada pelaksanaan pembelajaran, sedikitnya ada
tiga yang mencakupnya, yaitu identifikasi kebutuhan, perumusan kompetensi dasar dan penyusunan program pembelajaran.
Identifikasi kubutuhan bertujuan antara lain untuk melibatkan dan memotivasi
peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan oleh mereka sebagai bagian dari
kehidupannya dan mereka merasa memilikinya. Hal ini dapat dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut.
1. Peserta didik didorong untuk menyatakan kebutuhan
berupa kompetensi tertentu yang diinginkan mereka dalam memiliki dan memperoleh
melalui kegiatan pembelajaran.
2. Peserta didik didorong untuk mengenali dan
mendayagunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk memenuhi kebutuhan
belajar.
3. Peserta
didikpun dibantu untuk mengenal dan menyatakan kemungkinan adanya hambatan
dalam upaya memenuhi kebutuhan belajarnya, baik datang dari dalam (internal) maupun datang dari luar (eksternal).
Kompetensi merupakan sesuatu yang ingin
dimiliki oleh peserta didik, dan merupakan komponen utama yang harus dirumuskan
dalam pembelajaran, yang memiliki peran penting dan menentukan arah
pembelajaran. Oleh karena itu, setiap kompetensi merupakan perpaduan dari
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan untuk kebiasan
berpikir dan bertindak (Mulyasa:215).
Sementara itu, penyususnan program
pembelajaran memberikan arah kepada suatu program lain. Berdasarkan hal
tersebut keputusan dibuat dalam menentukan kegiatan apa yang akan dilakukan dan
untuk kelompok sasaran mana, sehingga pedoman itu menjadi program yang konkrit
dalam pengembangan program selanjutnya.
Menurut Mulyasa (2008:222), kolom dalam
identitas terdsiri atas nama sekolah, kelas/semester, dan mata pelajaran,
sedangkan menurut BNSP kolom identitas meliputi satuan pendidikan, mata
pelajaran, kelas/semestrer, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan
alokasi waktu.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
dapat disimpulkan secara pengembangan RPP dalam garis besarnya dapat mengikuti
langkah-langkah meliputi.
1.
Mengisi kolom identitas.
2. Menentukan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan
yang telah ditetapkan.
3. Menentukan
standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta indikataor yang akan digunakan
yang terdapat pada silabus yang telah disusun.
4. Merumuskan
tujuan pembelajaran.
5. Mengidentifikasi
materi standar berdasarkan materi pokok/ pembelajaran yang terdapat dalam
silabus.
6. Menentukan
metode pembelajaran yang akan digunakan.
7. Merumuskan
langkah-langkah pemelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, inti, dan akhir.
8. Mencantumkan
sumber belajar yang digunakan.
9. Menyusun
kriteria penilaian, lembar pengamatan, contoh soal, dan teknik penskoran.
2.7.2 Fungsi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Pengembangan RPP harus diawali dengan
pemahaman terhadap arti dan tujuannya, serta menguasai secara teoritis dan
praktis unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Rencana pelaksanaan pembelajaran
merupakan suatu oleh seorang guru dalam mengenai seluruh kegiatan yang akan
dilakukan baik oleh guru maupun peserta didik. Dalam RPP harus jelas kompetensi
dasar yang akan dimiliki oleh peserta didik
telah menguasai atau memiliki kompetensi tertentu. Aspek-aspek tersebut
merupakan unsur utama secara minimal harus ada dalam setiap RPP sebagai pedoman
guru dalam pelaksanaan pembelajaran, dan membentuk kompetensi peserta didik.
Menurut
Mulyasa (2008:217) di dalam KTSP sedikitnya terdapat dua fungsi RPP. Kedua
fungsi tersebut adalah fungsi perencanaan dan fungsi pelaksanaan, antara lain
sebagai berikut.
1. Fungsi
Perencanaan
Fungsi
perencanaan RPP dalam KTSP adalah rencana pelaksanaan hendaknya dapat mendorong
guru lebih siap melakukan kegiatan pembelajaran dengan perencanaan yang matang.
Oleh karena itu, setiap akan melakukan pembelajaran guru wajib memiliki
persiapan, baik persiapan tertulis, maupun tidak tertulis.
Komponen-komponen yang harus dipahami
oleh guru dalam pengembangan KTSP antara lain: kompetensi dasar, materi
standar, hasil belajar, indikator, hasil belajar, penilaian dan prosedur
pembelajaran.
2. Fungsi
Pelaksanaan
Dalam pengembangan KTSP, rencana
pelaksanaan pembelajaran harus disusun secara sistemik dan sistematis, utuh dan
menyeluruh, dengan beberapa kemungkinan penyesuaian dalam situasi pembelajaran
yang aktual. Dengan demikian, rencana pelaksanaan pembelajaran berfungsi untuk
mengefektifkan proses pembelajaran yang sesuai dengan apa yang direncanakan.
Dalam hal ini, materi standar yang
dikembangkan dan dijadikan bahan kajian oleh peserta didik harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuannya, mengundang nilai fungsional, praktis, serta
disesuaikan dengan kondisi lingkungan, sekolah, dan daerah. Oleh karena itu,
kegiatan pembelajaran harus terorganisasi melalui serangkaian kegiatan
tertentu, dengan strategi yang tepat dan mumpuni.
2.7.3 Metode dan Kegiatan Belajar Mengajar
Menurut
Suharsimi Arikunto dalam (Syaiful Bahri, 2006:28) banyak metode yang digunakan
dalam pembelajaran diantaranya: 1) metode pemberian tugas dan resitasi, 2)
metode diskusi, 3) metode pendekatan proses (proses approach), 4) metode penemuan (inquiri approach), 5) metode kerja kelompok, 6) metode eksperimen
dan, 7) metode tanya jawab.
Di dalam masing-masing metode tersebut
mempunyai keunggulan dan kelemahan, serta mempunyai daya cocok yang berbeda
bagi masing-masing siswa. Dengan demikian maka seorang guru harus pandai-pandailah
dalam memilih metode mengajar yang lebih sesuai dengan siswanya, agar materi
yang ingin disampaikan tercerna dan dapat dipahami oleh siswanya, sehingga akan
terjadi kesusksesan dalam pencapaian pembelajarannya.
Selain dalam memilih metode
pembelajaran, kegiatan belajar mengajar (KBM) pun harus edukatif dan komunikatif.
Apalagi dalam setiap praktek atau pelatihan harus dapat memungkinkan siswa
dapat mencapai tujuan komunikatif yang tercantum dalam kurikulum, mengikut sertakan
siswa dalam komunikasi, menawarkan penggunaan setiap proses komunikatif sebagai
tukar informasi, pengenalan makna, dan interaksi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode
penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data
penelitiannya (Arikunto, 1998:149).
Sementara itu, menurut Sugiono (2007:2) bahwa metode penelitian merupakan cara
ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Selanjutnya
Djajasudarma (2006:65) menjelaskan tentang batasan metode dalam ilmu
pengetahuan adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guru dalam mencapai tujuan yang ditentukan.
Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan
adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Selain itu, semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang telah diteliti
(Moleong, 2006:11). Penelitia ini menggunaka metode kualitatif karena data yang
diperoleh berupa deskripsi tentang kajian budaya dalam kumpulan cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad.
Dengan ini peneliti bermaksud mendeskripsikan unsur-unsur budaya Minangkabau
yang terangkum dalam kumpulan cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad.
3.2 Teknik Penelitian
a.
Teknik Pengumpulan Data
1.
Studi Pustaka
Studi pustaka adalah kegiatan mencari dan mengumpulkan bahan-bahan,
informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti atau dengan cara
mencari, mempelajari, menelaah berbagai aspek yang berhubungan dengan masalah
yang sedang diteliti (Arikunto, 1998:222).
2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah, mengumpulkan bahan-bahan yang akan diteliti dari
sumber yang telah dipilih. Dalam penelitian ini bahan-bahan atau data yang
dikumpulkan atau didokumentasikan adalah kumpulan cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad.
3.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis isi adalah penelaahan dan pengkajian terhadap kumpulan
cerpen dengan pendekatan kualitatif. Menurut Holsti (Moleong, 2006:220), Content Analisys adalah teknik yang
digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan,
dan dilakukan secara objektif dan sistematis. Data biasanya merupakan dokumen
tertulis, rekaman audio dan video, media masa dan cetak, dan sebagainya. Teknik
yang akan peneliti ambil yaitu menganalisis kumpulan cerpan Juru Masak karya Damhuri Muhammad dari
segi budaya dengan maksud mendeskripsikannya.
Untuk mengetahui unsur budaya dalam
kumpulan cerpen dapat digunakan diantaranya dengan menggunakan pendekatan
sosiologis. Pendekatan sosiologis ini bertolak
dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1993
:73). Melalui karya sastra seorang pengarang mampu mengungkapkan masalah
kehidupan yang pengarang sendiripun ikut di dalamnya.
Adapun
langkah-langkah yang akan menjadi analisis dalam penelitian ini adalah:
1. Pengenalan tentang sosok pengarang Damhiri Muhammad melalui biografinya, dan mengetahui kehidupan
sosialnya melalui karya sastranya.
2. Pengenalan terhadap falsafah,
di sini filsafah membicarakan tentang cara hidup, persoalan kebaikan dan
keadilan masyarakat status sosialnya, pendidikannya serta menyangkut tentang
kehidupan agama yang dianut oleh pengarang.
3. Menelaah aspek intrinsiknya terlebih dalam cerpen,
kaitannya dengan kepentingan masyarakat serta misi sastra dalam meningkatkan
taraf kehidupan. Adapun yang menjadi bahan telaahan adalah pertama tema, sebab
tema merupakan cerminan ketika semakin besar manfaat terhadap masyarakat makin
tinggi pula yang diberikan kepada karya sastra. Selain tema penulis juga harus
mengenal watak dari tokohnya, yang diperkenalkan oleh pengarangnya. Ketiga
harus mengenal alur, karena alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun
jalan cerita. Keempat penulis juga harus mengenal latar sebab latar merupakan
segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan di dalam
karya sasrta terlebih dalam cerpen.
Kelima adalah gaya
bahasa yang dituturkan oleh pengarang di dalam karya sastranya. Keenam disini
penulis harus mengenal sudut pandang, sebab visi pengarang, dan yang ketujuh
penulis juga harus mengenal amanat yang di jelaskan oleh pengarang di dalam
karya sastranya. Maksudnya pesan yang disampaikan pengarang pada pembaca.
4. Pengenalan tentang ada tidaknya tata nilai, etika,
budaya, agama dan falsafahnya yang ada dalam karya sastra. Dalam hal ini pula,
penulis hanya akan mencari unsur budayanya yang terdapat di dalam kumpulan
cerpen Juru Masak karya Damhuri
Muhammad. Karena sesuai dengan apa yang terdapat di dalam pertanyaan
penelitian.
3.3 Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Judul Buku :
Juru Masak
Pengarang :
Damhuri Muhammad
Penerbit :
Koekoesan
Tahun cetakan :
2009
Halaman :
158
Dalam hal ini penulis hanya mengambil tujuh
buah cerpen saja, yaitu (1) Sumanda,
(2) Juru Masak, (3) Tamu dari Kampung, (4) Ratap Gadis Suayan, (5) Jo Ampok, (6) Tikam Kuku, dan (7) Pawang
Hujan. Menurut peneliti dari ketujuh cerpen ini, peneliti merasa sudah
mewakili dari keempat belas buah cerpen tersebut yang menggali tentang budaya.
BAB IV
ANALISIS BUDAYA KUMPULAN CERPEN JURU MASAK KARYA DAMHURI MUHAMMAD DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MENDENGARKAN DI SMA
ANALISIS BUDAYA KUMPULAN CERPEN JURU MASAK KARYA DAMHURI MUHAMMAD DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MENDENGARKAN DI SMA
4.1 Sinopsis Kumpulan Cerpen Juru Masak Karya Damhuri Muhammad
1. Sinopsis Cerpen Juru Masak
Berawal dari kebiasaannya memasak dan
kelihayannya dalam menakar setiap bumbu membuatnya larut. Sehingga dia (Makaji)
selalu dipanggil dalam acara syukuran apapun, sehingga orang-orang menamainya
seorang juru masak sebab keterampilannya dalam meracik dan menakar semua
bumbu-bumbu dengan pas, enak, dan sedap. Tapi tidak untuk kali ini, sebab dalam acara kenduri Ronggogeni puteri
dari Manggudun siapa yang tak kenal
Mangkudun, sosok lelaki setengah baya ini adalah rajanya tuan tanah di Lareh
Panjang hampir sepertiga wilayah kampung ini adalah miliknya.
Namun, akibat dari kesombongannya dulu,
kini ia harus menerima segala gunjingan yang didengar dari para mulut tetangga
dan para tetamu yang datang. Bagaimana mungkin, kenduri sebagus dan semarak itu
justru mempelai laki-laki nyaris meninggalkan helat atau acara disebabkan oleh
aneka makanan yang tersuguh bukanlah masakan Makaji. Ya, dialah sosok laki-laki
tua yang disebut sebagai Juru Masak handal Lareh Panjang itu.
Gulai Kambing akan terasa hambar karena racikan bumbu tidak
meresap ke dalam daging. Kuah Gulai Rebung akan encer karena keliru menakar
jumlah kelapa parut, lebih banyak airnya daripada santannya. Maka, akan
berseraklah gunjing dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah.
Hal ini buakan karena kenduri kurang
meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan mempelai tak
di sedap di pandang mata, tapi karena bermacam-macam menu yang tersaji tak
menggugah selera, melainkan karena Makaji si tangan dingin itu tak turun tangan.
Makaji
bukanlah lari dari tanggung jawab atas apa janjinya pada Mangkudun untuk
membantu dalam kenduri putrinya itu. Tapi makaji pergi karena tawaran dari
putra bungsunya yang belum tentu datang untuk kedua kalinya, pikir Makaji.
Makaji ingin dibawa ke tempat rantauan anaknya, di Jakarta. Tak ada kebahagiaan
bagi orang tua selain berkumpul dengan anak-anaknya. Maka inilah alasannya
mengapa Makaji sang Juru Masak pergi meninggalkan kenduri Renggogeni.
Putera dari Makaji yaitu Azrial masih
memendam lara terhadap Mangkudun ayah dari Renggogeni, betapa tidak Azrial mendendam
karena niat baiknya ingin menikahi puterinya malah dihina karena dianggap hanya
sebagai sekretaris honorer di kantor kepala desa, orang miskin dan anak seorang
juru masak. Ketika berkunjung ke kampung halamannya untuk bertemu ayahnya.
Tetapi, malah mendapati kabar yang membuatnya terluka sebab luka yang lama muncul kepermukaan lagi. Dengan hati
yang merasakan betapa sakitnya perasaan Azrial. Maka, Azrial seketika itu pula
mengajak ayahnya untuk pergi bersamanya dengan perasaan yang kesal dan sakit
yang mendendam, untuk pergi di negeri rantau, Jakarta.
2. Sinopsis Cerpen Sumanda
Berawal
dari tiap tahun membangun masjid, kampung kami, biasa “kami” sebut. Tak pernah berhenti untuk membangun masjid dan tak
pernah berhenti pula untuk menghimpun wakaf, zakat, infak, sedekah. Pada tiap
musim lebaran tiba sebab dengan begitu mereka mengetuk hati para perantau yang
pulang kampung. Sumanda selain nama judul cerpen Sumanda adalah tokoh
utama dalam cerpen ini. Pemuda kampung yang cukup sukses yang jarang didapat
oleh pemuda kampung di kampungnya. Sumanda dengan keuletannya dan kegigihannya
berjuang untuk hidup mampu membiayai adik dan ketiga anaknya mampu
menyelesaikan sekolah sampai mendapatkan gelar sarjana di kota, itu semua dilakukan oleh Sumanda tanpa
pergi merantau seperti yang dilakukan oleh semua sahabatnya.
Sumanda kecil dulu sangat disayang oleh
semua keluarganya tapi tidak hanya keluarganya saja, kamipun sebagai temannya
sangat menyayanginya sebab ia baik budinya dan suka menolong teman tanpa
melihat siapa yang ditolong olehnya bahkan guru ngaji kamipun sangat
menyayangi. Seperti yang didapat kesuksesannya
itu tak lepas dari keuletan dan rajinya bekerja. Namun Sumanda kecil tetap
pergi kesurau dan mengaji layaknya anak laki-laki di kampung kami. Suaranya
yang mendayu-dayu membuat orang merinding ketika ia sedang adzan.
Namun sekarang seolah berubah begitu
cepat, waktu seakan berubah dengan mudahnya. Diusia senjanya Sumanda yang cukup
kaya kini harus tinggal di surau tempat dimana ia dan temannya dibesarkan, di
surau yang lapuk dan makan hanya dari sumbangan. Sumanda merasa lebih senang
tinggal di surau dari pada tinggal di rumah yang jarang diurus oleh istrinya,
sebab isterinya lebih senang tinggal
bersama anak perempuannya yang sudah memiliki anak. Kini Sumanda merasa
diusianya yang senja lebih senang tinggal di surau dan merewat surau itu sampai
ajal menjemputnya.
3. Sinopsis Cerpen Tamu dari Kampung
Tanur
adalah pemuda dari kampung yang pergi merantau ke Jawa dan memiliki istri orang
Jawa asli pula. Sifatnya yang baik dan memiliki jiwa sosialisme yang melekat
pada dirinya, sudah tertanam semenjak kecil dan merupakan didikan dari keluarganya
membuatnya suka menolong. Seperti sikapnya yang menolong pada seorang pemuda
yang bernama Yanuar yang meminta bantuannya. Walaupun Tanur sendiri belum
mengenalnya hanya saja mereka satu tanah kelahiran. Itulah mengapa Tanur begitu
membantunya selama berada di Jawa karena Yanuar sedang mencari pekerjaan.
Itulah sosok Tanur yang baik hati dia
begitu rela dan ikhlas menolong sesama saudara dan menghargai sebagai seorang
tamu yang membutuhkan bantuan dan pertolongannya. Kebaikan Tanur dibarengi oleh
istrinya orang Jawa asli sehingga, membuat keluarga kecilnya selalu rukun dan damai walau terkadang harus
memangkas uang dapur untuk membantu para tamunya yang datang dan meminta
bantuannya.
4. Sinopsis Cerpen Ratap Gadis Suayan
Kampung Suayan bukanlah kampung yang
mewah dan kaya akan hasil alamnya.
Kampung Suayan atau dusun Suayan sangat gersang tanaman padipun tak tumbuh
disana, bukan tidak tumbuh tetapi sebelum memanen padi itu sudah mati karena
kekurangan air, sebab persawahannya masih mengandalkan air hujan. Tetapi
kurangnya alam tidak membuat kampung ini layu, Tuhan memang maha adil.
Kegersangannya alam digantikan dengan lahirnya perempuan-perempuan yang
berwajah cantik, kulitnya halus seperti orang Jepang, hidungnya mancung seperti
hidung orang Arab, berbadan langsing,
bertubuh tinggi semampai, dan tak kalah bagusnya adalah suaranya yang medayu-dayu bila bernyanyi membuat orang
yang mendengar merasa merinding olehnya.
Dari sinilah kampuang Suayan tertolong
akan ekonomi keluarganya, sebab dengan datangnya pinangan demi pinangan, untuk
meminang anak gadisnya. Harga pinangan yang temurahnya saja cukup untuk menebus
empat bidang ladang yang tergadai. Namun pinangan yang datang dan terjalinnya
suatu ikatan pernikahan tidak selamanya berujung bahagia. Seperti Raisya, gadis
tercantik pada masanya kini hanya dikenal sebagai perempuan panggilan guna
mengisi acara, jika dulu acara hajatan kini berubah menjadi kematian. Karena
Raisya kini adalah gadis tukang ratap yang pandai meresapi pahitnya kehidupan.
Bahkan, lebih meresapi tangisnya daripada keluarga korban yang ditinggal mati
oleh salah satu keluarganya. Tangisnya, ratapnya, semakin memilukan, sipapun
yang mendengar ratap Raisya pasti akan terenyuh hatinya dan menitikan air
matanya.
Raisya dulu adalah gadis periang dan
berbudi pekerti baik namun kesedihannya melanda saat ia dipaksa untuk menikahi
seorang pria yang sudah beristrikan dua orang, kini Raisa ditinggal oleh
suaminya setelah lahir anak perempuan satu-satunya itu. Dan ternyata
pernikahannya merupakan penyelamatan hidup keluarga pamannya Raisya kerena
terlilit hutang, sehingga membayarnya dengan menyerahkan Raisya pada Nurman,
mantan suaminya itu.
5. Sinopsis Cerpen Jo Ampok
Jo Ampok adalah salah satu tokoh
dan yang menjadi judul cerpen juga. Jo Ampok adalah sosok laki-laki setengah
baya yang kecanduan dalam perbuatan sangat dibenci oleh agama dan negara, yaitu
kecanduannya bermain judi. Jo Ampok jarang sekali kalah dalam bermain judi, itu dikarenakan ada
sosok anak muda yang membantunya dalam bermain, baginya laki-laki ini adalah
keberuntungan bagi diri Jo Ampok. Engku adalah nama anak laki-laki itu yang
menjadi anak emasnya Jo Ampok. Namun perubahan terjadi pada diri Jo Ampok
ketika Engku yang baik budi dan penurut itu menjadi seorang guru mengaji di
kampung Guci. Sebab pada saat itu juga Engku meninggalkan semua perbuatan yang
dibenci oleh agama dan dilarang oleh negara, yang dahulu pernah dilakoninya. Pada saat itu pula Jo Ampok sebagai raja judi
di kampung Guci kini mengalami kekalahan secara terus-terusan. Karena Jo Ampok
malu sebab, disetiap permainannya ia selalu kalah. Maka ia tak datang lagi ke
lapau, sampai-sampai ia terserang sakit dan meninggal.
6.
Sinopsis Tikam Kuku
Seorang pemuda yang bernama Dahlan
yang baik dan terkenal sakti itu harus diberi gelar dengan sebutan “beruk” jadi
namanya Dahlan Beruk, karena setiap aksinya menolong Dahlan selalu
bergelantungan diatas dahan pohon. Dahlan adalah sosok pemuda yang baik namun
dibenci oleh beberapa masyarakat sebab, ia selalu membela orang –orang yang
tertindas, karena ulah Jilatang layur tangan kanan Cen Bi yang terkenal sakti
itu. Cen Bi tidak suka pada sikap Dahlan yang suka menolong. Cen Bi merasa
tidak aman sebab Dahlan Beruk masih ada disekitar kampungnya yang selalu
menggagalkan rencananya untuk membeli hasil tembakau panen warga dusun Subakir dan kerap terjadi penindasan
karena masyarakat tidak ingin menjual pada Cen Bi.
7.
Sinopsis Pawang Hujan
Iwik sosok pemuda yang baik dan
penolong ia dari kampung yang mencoba hidup dengan merantau, kepergiannya tidak
hanya kekosongan yang ia bawa. Sebab, Iwik mewarisi ilmu penangkal hujan agar
tidak terjadi hujan untuk beberapa lamanya yang ia peroleh dari gurunya ketika
di kampung. Saat ia merantau dan mencoba tinggal disalah satu kampung yang
usang yang bersebelahan dengan perumahan kawasan elit, Iwik dipanggil untuk
menjaga kawasan itu. Tetapi lebih dari itu Iwik dibayar untuk menghalau dan
menahan agar hujan tidak mengguyur di perumahan itu yang dipimpin oleh seorang RW yang biasa
dipanggil Bang Sat (Satmoko). Diakhir masa jabatannya Bang Sat ingin tak ada
cela pada dirinya, sebab meskipun perumahan kawasan elit namun kawasan ini
menjadi langganan banjir ditiap tahunnya.
Namun, pada
saat bersamaan Rojak kecewa pada Iwik karena sikap Iwik yang menghalau
datangnya hujan. Rojak mengangap sikap Iwik ini adalah salah karena Rojak
merasa membutuhkan bantuan dari pada RWnya yang hanya tinggal dua bulan lagi
selesai jabatannya. Rojak senang bila kawasan yang ia jaga menjadi banjir
karena ia akan mendapat tambahan uang untuk biaya bersalain istrinya dari hasil
ia menolong warga untuk mengungsi ketempat yang lebih aman. Saat Rojak berkata
demikian di sebuah pos kamling malam itu, hati Iwik sedih dan ia langsung
tersadar akan wasiat gurunya sebelum menurunkan ilmu pawang hujan itu, saewaktu
ia masih di kampung. Bagaimanapun sulitnya keadaanmu, janganlah sampai kau
salahgunakan kepandaian itu, begitu
pesan guru Iwik sebelum meninggal. Seketika itu Iwik tentu tahu akan akibatnya
bila nekat melanggar pantangan. Bisa kualat seumur-umur.
Tanpa sepengetahuan bang Sat, Rojak,
Jouhar dan orang-orang perumahan Iwik
pergi meninggalkan kawasan perumahan elit itu setelah percakapan di pos Kamling
itu. Pada saat itu juga selama tiga hari berturut-turut hujan mengguyur kawasan
elit itu dan terjadilah banjir. Seketika itu juga Rojak dan Jouhar seperti
kejatuhan buah Durian runtuh, sebab dengan membantu dan membawa warga
masyarakat ketempat yang aman ia akan beroleh upan tambahan dan akan membayar
biaya persalainan isterinya.
4.2 Analisis Kumpulan Cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad
Dalam menganalisis unsur budaya dalam
kumpulan cerpen Juru Masak penulis
akan menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis ini sangat
mempersoalkan dalam hal yang berada di luar karya sastra, seperti adanya latar
belakang pengarang, fungsi sastra terhadap masyarakat, masalah pembaca,
lingkungan sosial yang melingkupi kehidupan karya sastra dan lain-lain. Penulis
juga mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena sesuai
dengan daftar pertanyaan tentang unsur-unsur budaya Minangkabau yang ada dalam
kumpulan cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad.
4.2.1 Latar Belakang Pengarang, Damhuri Muhammad
Damhuri Muhammad terlahir di Taram,
Payakumbuh, Sumatera Barat, 1 Juli 1974. Menyelesaikan studinya pada jurusan
Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol, Padang (1997). Damhuripun mendapatkan
kesempatan untuk lanjut di Psacasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2001). Sekarang Damhuri Muhammad tinggal dan
menetap di pinggiran kota Jakarta.
Bagi Damhuri, agama selain sebagai
dasar iman yang harus terpatri dalam dadanya melainkan juga sebagai warisan
budaya dari nenek moyang mereka. Sebab dengan beragama islam maka anak laki-laki di kampungnya harus
tinggal di surau sebagai proses pendewasaan dan ketidak bergantungannya pada
orang lain. Hal ini sangat berguna untuk bekal ketika hidup di negeri rantau.
Hal ini terbukti dari jejang pendidikannya
yang berkultur agama atau religi.
Bagi sosok Damhuri membuat cerpen tidaklah
mudah karena harus sesuai dan membutuhkan ketelatenan sebab baginya menulis
cerpen seperti meraut sepasang bilah layang-layang. Butuh keuletan dan
ketelatenan untuk terus-menerus meraut kedua bilah itu dari pangkal hingga
ujung, sampai permukaannya benar-benar halus, dan imbang bila ditimbang. Selian
itu juga Damhuri memiliki kebiasan yaitu menyimpan cerpen-cerpennya yang sudah
selesai ditulis dalam waktu relatif cukup lama, terkadang sampai berbulan-bulan
lamanya sebelum dia mengirimkan ke meja redaksi. Barangkali itulah sebabnya,
dibanding tahun-tahun lalu, produktifitas publikasi cerpennya agak menurun. Bukan
karena dia tidak mengarang, tetapi lebih
pada karena ingin mengendapkan cerpen-cerpen itu, agar dia punya waktu untuk
kembali membaca-bacanya, membengkelinya, menyempurnakannya, hingga benar-benar
matang menjadi sebuah karya sastra.
Beberapa cerpen dan karya sastranya
lainnya yang pernah diterbitkan diantaranya selain Juru Masak (2009), LARAS, tubuhku
bukan milikiku (2005), Lidah Sembilu (2006),
Cinta Di atas Perahu Cadik-cerpen
KOMPAS pilihan 2007- (2008). Sehari-hari ia bekerja sebagai editor fiksi untuk
sebuah penerbitan di Jakarta.
Saat ini pula beliau sedang merampungkan sebuah novel silat berjudul Gelang-gelang Kawat (segera terbit).
4.2.2
Pemikiran Pengarang dilihat dari Segi Politik,
Status Sosial, Pendidikan, Sosialisasi, dan Kehidupan Agama
Mengenali pengenalan terhadap falsafah
ideologi politik, status sosial, pendidikan,
sosialisasi, dan agama pengarangnya. Untuk Damhuri Muhammad sendiri beragama Islam
adalah agama yang sudah ia peluk semenjak kecil. Selain ditunjang oleh akademik
berbasis agama Islam. Damhuri Muhammad
sudah lebih dahulu bergulat dan erat serta dekat dengan ajaran agama Islam,
karena sudah dari kecil tinggal di surau. Itulah tempat di mana ia memulai
aktivitas dipagi hari, sore hari, hingga malam harinyapun nyaris ia lakukan di surau.
Baginya dan teman-temannya dan anak-anak kampungnya beragama islam tidak hanya
diluarnya saja, melainkan mampu untuk dipraktikkan dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Selain menetap dan tinggal di surau
sebagai suatu kebiasaan, tetapi di sana jauh akan terkuak inti dari kehidupan
ini, bukan hanya sekedar sebatas kebiasaan belaka tetapi di sana akan tercipta
sebuah interaksi antar sesama, menumbuhkembangkan rasa persaudaraan, saling
bergotong royong dalam pembangunan surau di kampungnya. Bagi masyarakat Minang
pepatah ini sudah melekat dan tertanam dalam dirinya. “di manapun kita
berdiri diranah Minang, dapat dipastikan kita akan mendengar adzan, panggilan
untuk beribadah solat lima
waktu.” Di tanah Minang ini selain selain budayanya yang khas tetapi
kekuatan dalam beragamapun mereka kuat,
sampai-sampai di setiap sudut kampung pasti kita akan melihat surau dan masjid.
Damhuri sendiri memang sekarang tinggal
dan menetap di Jakarta.
Kendati demikian tetap saja jiwanya adalah anak kampung yang penuh dengan
kebiasaan-kebiasaan serta adat yang berpegang, namun karena pendidikannya yang
sampai pada jenjang pascasarjana membuatnya berwawasan luas dalam mengapresiasi
semua karya-karyanya dengan berlatarkan budaya dan kampung. Baginya kampung yang kental dengan budaya itu
tidaklah seusang yang dipikirkan pada benak masyarakat. Bagi Damhuri menulis
adalah membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Sehingga Damhuri pernah menyimpan
karya-karyanya dalam kurun waktu berbulan-bulan. Sehingga mengakibatkan
produktivitas publikasi cerpennya agak menurun beberapa tahun yang lalu.
Dalam kurun waktu dekat inipun Damhuri
akan segera meluncurkan novelnya, sebab saat meluncurkan kumpulan cerpen ini ia
sedang merampungkan sebuah novel yang berjudul Gelang-gelang Kawat (novel yang berisikan tentang persilatan).
4.2.3 Analisis Unsur Budaya pada Kumpulan
Cerpen Juru Masak
4.2.3.1 Budaya Kepercayaan
Dalam
pengkajian atau analisis ini penulis bermaksud menganalisis budaya kepercayaan
lebih awal, karena sesuai dengan latar belakang pengarang yang kuat dalam
meyakini kepercayaannya sebagai seorang muslim. Dalam bukunya Alo Liliweri,
2007:107, kebudayaan menurut Edward B. Tylor menyatakan bahwa kebudayaan adalah
kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat
istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini pula penulis bermaksud ingin
mengungkapkan budaya kepercayaan atau agama yang dianut dalam kumpulan cerpen Juru Masak. Adapun agama yang dianut pada kumpulan cerpen ini
diceritakan beragama Islam
yang taat, sampai-sampai mereka tinggal dan tidur di surau. Seperti yang
tergambar dalam kutipan berikut.
Bagi kami,
Surau bukan saja tempat solat, wiridan, majlis ta’lim dan belajar mengaji, tapi
juga tempat tinggal kami anak laki-laki.
(Muhammad,
hal. 14)
Sehingga dalam
pergaulannya surau bukan hanya sebagai tempat untuk beribadah pada Tuhan yang Maha
Esa melainkan waktunyapun mereka lebih banyak di surau ketimbang di rumah
mereka. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut ini.
Lebih
banyak waktu kami di surau ketimbang di rumah.
Disana
mereka mengaji, solat berjamaah, dan bila malam pekat, tibalah saatnya mereka
untuk belajar silat.
(Muhammad, hal. 15)
Bagi masyarakat
kampung tersebut, sikap tinggal di surau adalah suatu yang dipersyaratkan oleh
kaum adat. Sikap lebih memilih tinggal
di surau adalah suatu keharusan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka masuk
agama Islam.
Mereka, anak laki-laki seperti orang
yang tidak memiliki rumah, saudara bahkan orang tua. Karena mereka sehari-hari
lebih senang tinggal di surau ketimbang di rumah. Bahkan, karena saking
banyaknya anak yang tinggal di surau
seakan tak pernah sepi dari riuhnya anak-anak. Walaupun bukan dibulan puasa.
Seperti dalam kutipan berikut.
Benar-benar
seperti anak-anak yang tidak punya rumah. Ya, hanya surau itulah rumah mereka.
Itu sebabnya surau-surau di kampung kami tak pernah sepi. Selalu riuh oleh suara anak-anak mengaji.
Tidak hanya dibulan puasa, tapi juga dibulan-bulan biasa.
(Muhammad, hal. 15)
Berakar dari kebiasaan, maka timbulah
kesadaraan bahwasannya kita hidup adalah untuk beribadah pada Tuhan yang maha
pemurah. Sehingga ketaatannya dalam beribadah di rumah Allah menjadikanya
sebuah tempat yang ramai akan riuhnya suara anak-anak yang belajar mengaji
bahkan tidak hanya dibulan ramadhan sekalipun.
Meskipun kebiasaan, namun lingkungan sangatlah berperan besar dalam
pembebtukan karakter manusianya. Lingkungan tidak baik maka akan tercipta
warganya tidak baik. Namun, kita sebagai manusia tentu memiliki fitrah pada
diri masing-masing manusia itu sendiri walaupun lingkunganya mengajarkan untuk
melakukan perpuatan maksiat seperti berjudi yang terkenal di kampung Guci.
Namun fitrah itu akan kuat ketika menyadarinya bahwa hidup tidak hanya didunia
saja, dan mencoba untuk tidak mendekati pada hal-hal maksiat. Seperti yang
tergambar pada kutipan berikut.
“Sejak
dipercaya menjadi guru mengaji, Engku hampir tidak pernah lagi mampir di Lapau,
warung kopi”.
(Muhammad,
hal. 49)
Engku memang sudah dipercaya untuk
mengajarkan mengaji, ia telah meninggalkan perjudian. Namun, godaan
itu kerap datang pada dirinya untuk datang kelapau lagi sebab di belakau Lapau
itu terdapat tempat untuk bermain beraneka judi ada di sana ada. Keimanannya
kian kuat ketika godaan itu dantang untuk mengajaknya kembali ke Lapau,
sehinnga ia telah berjanji pada dirinya bahwa ia akan menjadi manusia insyaf
dan tidak akan menyentuh permainan judi. Seperti yang tergambar pada kutipan
berikut ini.
“Engku
sudah berjanji tidak akan menyentuh kartu Remi, Koa, dan Batu Domino lagi.”
(Muhammad, hal. 55)
Meskipun lingkungan tidak baik namun
ketika kesadaran tumbuh dan meyakininya hal-hal yang tidak baik dan perbuatan
keji datang akan terlindungi. Sebab Allah itu selalu berada pada orang-orang
yang ingin berubah pada kebaikan.
Dari kutipan di atas, dapat penulis
simpulkan bahwasannya tinggal di surau selain karena adat, tapi lebih untuk beribadah dan taat pada agama, sebab
orang minang tidak hanya kental dengan budayanya saja tetapi merekapun kuat
dalam memeluk agama Islam, sebab sebagai dasar keimanan mereka. Tetapi lebih
dari itu semua adalah sebagai proses pendewasaan bagi anak laki-laki agar tidak
bergantung pada ibu dan orang lain kelak ketika mereka meranatu di negeri
orang. Dari paparan yang penulis ungkapkan padadasarnya adalah hiduplah mandiri
jangan bergantung pada orang lain selain pada Allah yang maha pemberi bagi
hamba-hambanya yang beriman dan mau untuk merusaha. Allah tidak akan mengubah
suatu kaum kalau tidak mengubahnya sendiri.
4.2.3.2 Budaya Adat Istiadat
Seperti yang dikatakan oleh Edwrd B.
Tylor selain kepercayaan bahwa adat istiadatpun merupakan suatu kebudayaan.
Dalam hal ini juga penulis bermaksud ingin mengungkap budaya adat istiadat yang
ada pada kumpulan cerpen Juru Masak.
Mungkin tidaklah asing lagi bagi kita
warga Indonesia,
mengenal akan adat istiadat. Apa lagi bagi mereka orang-orang Sumatera Barat,
terlebih suku Minangkabau. Seperti cerpen ini. Bagi mereka warga masyarakat
adat merupakan junjungan yang diagung-agungkan, bahkan lebih agung dari pada peraturan
yang dibuat oleh pemerintah sendiri.
Dimana masyarakatnya ini sangat kuat dalam memegang dan mempertahankan
tradisi adat istiadat yang didapat dari leluhur mereka. Disini penulis akan
mencoba mengungkapakannya, dikisahkan bahwa anak laki-laki yang terlahir ketika
masuk akil baligh atau bisa juga ketika masuk dalam usia sekolah dasar, kami
para anak laki-laki berduyun-duyun tinggal dan sudah harus belajar untuk tidur
di surau. Memang disana tidak ada kamar selayaknya rumah melainkan hanya ada
ruangan belakang yang disekat oleh triplek. Kami tidur serupa ikan yang ada
dalam wajan. Bagi masyarakat bila ada anak laki-lakinya yang masih tinggal
dalam rumah maka akan dibenci dan dicemooh oleh tetangga dan warga sekitar
sebab masih berlindung dibawah ketiak emaknya. Seperti yang tergambar dari kutipan
berikut.
Tengoklah! Rumah-rumah yang tampak berdiri
kokoh itu memang luas. Tapi, didalamnya
tiada bakal ditemukan kamar bagi anak laki-laki.
Bila masih ada yang tinggal di rumah, ia akan
dicemooh, dan diolok-olok sebagai banci
yang masih saja menyeruak-nyeruak di bawah ketiak ibunya.
(Muhammad, hal. 14)
Bagi kebiasaan atau tradisi ini harus
dijunjung sebab di negeri kita ini hukum adat terkadang lebih kejam daripada
hukum negara. Meskipun pada dasarnya
tokoh kami disini ini merasakan jelas bahwa hidup memang janganlah bergantung
pada orang lain. Bagi anak laki-laki
akan dikatakan berguna apabila sudah pergi di negeri rantau. Seperti yang
tergambar dalam kutipan berikut ini.
“ Anak
laki-laki harus merantau. Tiada berguna tinggal di kampung bila belum
merantau!”
(Muhammad,
hal. 16)
Seperti pada umumnya bagi orang-orang
Sumatera, terlebih anak laki-lakinya trdisi bagi mereka adalah merantaulah
kenegeri orang lebih dahulu selagi masih muda.
Seperti yang terceritakan dalam cerpen Sumanda ini, bagi
kampungnya tradisi merantau harus ada pada anak laki-laki, meskipun tidak
kenegeri orang paling tidak meranatu ke rumah orang, pergi dari rumah, hidup
dan tinggal di rumah anak bini.
Simpulannya, pada dasarnya manusia
memang harus pernah merasakan juga pergi walau tidak terlalu jauh dari tempat
tinggal atau saudara-saudara kita. Dengan kita pergi sebenarnya proses
pendewasaan dan ketidakbergantungan pada orang lain merupakan inti dari tradisi
yang tergambar dalam cerita ini. Dan amanat yang ingin disampaikan pengarang
pada pembaca.
Lain kampung tentu lain tradisi pula,
ini pula yang ingin peneliti sampaikan dari beberapa kumpulan cerpen Juru Masak seperti kampung Suayan, kampung ini sangat erat dalam menjaga
tradisi yang diberikan oleh nenek moyang mereka. Seperti hukum adat lainnya,
bila tidak menggunakan adat ini gunjingan dari para mulut tetangga akan terdengar gunjingan yang
tidak enak kepenjuru kampung. Adat dan tradisi ini adalah saat acara kematian
atau kedukaan itu ada, yaitu harus digelar adanya nyanyian ratapan-ratapan
kesedihan yang menceritakan kebaikan-kebaikan selama hidup si almarhum,
kesediahan itu harus lebih sedih, dan meratap sepilu-pilunya daripada keluarga
yang ditinggalkan. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.
Raisya hanya akan mengisi tempat yang telah
tersedia, di samping pembaringan mendiang, lalu meratap sejadi-jadinya,
sekeras-kerasnya, sepilu-pilunya.
Duduk,
berdiri, melonjak-lonjak, menghentak-hentakkan kaki, berputar-putar
mengelilingi jenazah sambil terus menyebut-nyebut dan memuji tabi’at baik mendiang semasa hidup.
(Muhammad, hal. 114)
Pembaringan almarhum. Disitulah tempat
yang pas untuk Raisya, sebab dialah gadis ratap itu. Acara ratapan hanya akan
berlangsung pada saat acara kematian ada. Ratapan, tarian, nyanyian, akan
bersekutu menjadi satu. Kesedihan tuan rumah tidak akan mampu menandingi
dalamnya kepiluan Raisya. Mendengar
ratapan Raisya, mungkin orang akan beranggapan bahwa Raisya lebih berduka
ketimbang keluarga mendiang. Padahal orang tersebuat bukan siapa-siapanya.
Didalam ratapan, tarian dan nyanyian itu Raisya akan memunji atau membanggakan
perilaku baik almarum semasa hidupnya.
Bagi kampung Suayan kuranglah sempurna
bila upacara kematian belum diratapi,
meskipun ritual secara agama telah selesai. Seperti yang tergambar di dalam
kutipan berikut ini.
Kini
jenazahnya sudah dimandikan, sudah pula diyasinkan, dishalatkan, dan tinggal
menunggu waktu sebelum diusung ke pekuburan. Tapi sebagaimana kebiasaan
orang-orang dusun Suayan, kurang sempurna upacara kematian jika belum diratapi.
Maka, jenazahnya masih dibaringkan di ruang tengah rumah itu, menunggu
kedatangan Raisya, si tukang ratap.
(Muhammad, Hal.122).
Begitulah pentinganya upacara ratapan
itu harus ada, walaupun telah selesai secara agama namun, bila adat belum
dilakukan maka akan terdengarlah gunjingan yang tidak enak didengar oleh
keluarga almarhum. Sepereti yang tergambar dalam kutipan berikut ini.
“Tak usah
cemaskan soal itu. Bila kematian ini tak diratapi, apa kata orang nanti?”
(Muhammad hal. 122)
Karena itulah
bila tidak dilakukan acara adat rasanya kurang sempurna acara kematian
itu, halini merupakan adat yang ada yang telah diwariskan dari leluhur sebelum
mereka ada dan tidak bisa rasanya untuk mereka tinggalkan.
Kesempurnaan adat atau tradisi itu yang
mengukur adalah dari kampung mereka masing-masing. Karena merekalah yang
menjalankan dan meyakininya. Lain kampung lain pula dalam tradisi. Bila dusun
Suayan kurang sempurna acara kematian jika belum ada ratapan maka, kampung
Lerah Panjang akan merasa malu dan merasa terinjak-injak harga dirinya bila
dalam menyajikan menu masakan tidak mengenakan
para tamu undangan yang hadir. Seperti yang tergambar dalam kutipan
berikut.
“kalau
besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah di lanjutkan! Ancam
Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.
“percuma
bikin helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”
(Muhammad,
hal. 63)
Bagi kampung Lerah Panjang harga diri
sangat mereka junjung. Malu rasanya bila
dalam hal penyambutan tamunya kurang memuaskan dalam penyajian menu makanan.
Seperti kutipan diatas, acara akan batal gunjingan dari tamu dan tetangga akan menggunjing
yang tidak enak, dikarenanakan tuan rumah dianggap tidak bisa menghormati tamu
yang telah diundangnya sendiri.
Dari beberapa kutipan diatas maka dapat
penulis simpulkan, meskipun adat atau tradisinya berbeda tetapi satu tujuan
karena sebagai warisan dari leluhur yang harus kita jaga dan juga sebagai
budaya dan ciri khas dari suatu kampung atau daerah. Dengan tradisi kita bisa
saling menghargai dan meragamkan bangsa Indonesia
dan sekaligus sebagai ciri Indonesia,
bahwa negara Indonesia mempunyai beraneka ragam
budaya, tradisi dan adat istiadatnya.
4.2.3.3 Cara Hidup Kekeluargaan
Cara atau gaya hidup kekeluargaan, tolong menolong, dan
kebersamaan merupakan karakter yang tercermin dalam masyarakat Minangkabau. Seperti
yang dilakuan Tanur, Makaji dan masyarakat lainnya dalam beberapa tokoh yang
ada dalam cerita kumpulan Cerpen Juru Masak
ini. Seperti Makaji sosok orang tua yang jiwa solidaritasnya tinggi ini tak
pernah pandang siapa yang ia bantu. Seperti dalam kutipan berikut ini.
“Makaji tak
pernah keberatan membantu keluarga mana saja yang hendak menggelar pesta, tak
peduli tuan rumah hajatan itu orang terpandang yang tamunya membludak atau
orang biasa saja yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya. Makaji tak
pilih kasih”.
(Muhammad,
hal. 63)
“Tatkala
jilatan api sudah mencapai atap rumah gonjong sembilan ruang itu, Dahlan sudah
bergelayut serupa Beruk di dahan pohon Durian, belakang rumah itu. hanya dari pohon itu Dahlan bisa meloncat
masuk, dari tangga hingga anjingan, kobaran api sudah tidak bisa diterobos ”
(Muhammad, hal. 87)
Bagi Makaji
dan Dahlan tolong menolong merupakan perbuatan baik yang ia harus tanam semasa
hidupnya, terlepas dari Makaji adalah satu-satunya juru masak yang tersisa yang
ada di kampung Lerah Panjang, walaupun terkadang taruhannya nyawa sekalipun,
bagi Dahlan ia hanya berbuat baik. Tidak pernah rasanya ia memilih dalam menolong
seseorang. Baik orang yang kurang berada
atau orang yang berada sekalipun. Walaupun Makaji merupkan kata kunci kehormatan pesta di kampungnya namun tetap saja Makaji adalah
orang miskin. Rasa solidaritas yang
tertanam dalam jiwa masyarakat Minang membuatnya tidak hanya dalam kampungnya
saja, tetapi di negeri rantaupun mereka tetap saja saling menolong walaupun
bukan saudara kandung. Seperti yang dilakukan Tanur dalam kutipan berikut.
“Abang bisa
jemput saya? Tunggu saja saya di stasiun Tugu, saya berangkat dari Jakarta dengan kereta
Senja Utama”.
(Muhammad,
hal. 104)
Kini, orang
yang berperangai ganjil itu benar-benar sudah menjadi tamu di rumah Tanur.
(Muhammad, hal. 105)
Bagi orang yang merantau saudara
sekampung merupakan saudara juga, karena itulah jiwa rasa tolong menolong
mereka sangat tinggi. Karena pada suatu hari nanti ketika datang masa rantau
maka dia akan ditolong juga. Makanya sikap kekeluargaan yang sudah tertanam
pada masa anak-anak yang tinggal di surau dahulu membuat mereka beringan hati
untuk menolong sesama satu tanah kelahiran. Seperti yang dilakukan Tanur
terhadap tamunya yang datang ke Jawa, untuk beberapa bisnis yang dilakukannya,
walaupun Tanur sendiri tak berminatnya namun tetap saja Tanur mau menerima
tamunya untuk tinggal dirumahnya yang berukuran sedang di Jawa, sebab istri
Tanur adalah orang Jawa asli. Disanalah Tanur merantau dan menetap.
Jiwa solidaritas
untuk rasa saling membantu membuatnya selalu ingin membantu siapapun mereka,
masyarakat kampung Lerah Panjang mereka bersatu dan bergotong royong dalam
pembangunan masjid. Mereka tak segan-segan menyumbang apapun semampu mereka
bisa, baik uang, benda dan tenaga. Dan itu mereka lakukan biasanya saat mereka
pulang kampung, bagi mereka yang pulang kampung, mereka tak segan merogoh
sakunya dalam-dalam untuk membantu pembangunan masjid dan dibantu orang
sekampungnya, dan mereka akan berbondong-bondong pula ketika ada salah satu
saudara yang sedang sakit. Seperti dalam kutipan berikut.
Mereka mengetuk hati para perantau yang
pulang ke kampung untuk bersenang hati ikut menyumbang. Ada yang memberi derma
dalam bentuk bahan bangunan, ada pula
yang menyumbang uang tunai.
(Muhammad, hal. 14)
“Ada yang memberitahukan kalau sakitnya makin
parah. Dan, tanpa pikir panjang, orang-orang lapau pun segera menjenguk Jo Ampok”.
(Muhammad, hal. 55-56)
Rasa kekeluargaa mereka membuat ciri
kahs sebagai masyarakat yang memiliki rasa kebersamaan yang kuat. Sepereti
mereka yang saling membantu dalam hal apapun, seperti yang tergambar dari
kutipan diatas. Makaji yang tak pernah pandang siapa yang ia bantu, atau
seperti mereka masyarakat kampung Lerah Panjang yang tak segan-segan merogoh sakunya dalam-dalam guna
pembangunan masjid, bahkan seperti Tanur yang membantu tapi tak mengetahui siapa
yang ia bantu dan Dahlan yang membantu walau harus nywanya yang menjadi
taruhannya.
Sikap tolong
menolong dan gotong royong pun tercipta di kawasan perumahan elit Kemilau Asri.
Taatkala hujan berturut-turut mengguyur kawasan tersebut dan seketika itu juga
mendapat banjir kiriman dari luapan kali Cilesung. Seperti pada kutipan
berikut.
“Rojak,
Jauhar, jakdul, Paijin, dan Ripin, sibuk mengayuh perahu karet, berusaha sekuat
tenaga menyelamatkan warga yang masih bertahan bertahan di rumahy masing-masin”.
(Muhammad, hal. 154)
Rojak dan kawan-kawan tergerak hatinya
untuk membantu warga yang terkena musibah walaupun ia adalah orang-orang yang
miskin yang tinggal di kampung yang selam ini menjadi tetangga kawasan
perumahan elit tersebut. Dari beberapa kutipan diatas penulis simpulkan
bahwasannya, manfaat dalam hidup rasa kekeluargaan itu sangat menguntungkan
kita saling membantu jauh lebih menumbuhkan rasa persaudaraan dan menyambung
tali talisilaturrahmi sesama saudara, ketika perbuartan baik ingin dilkukan
maka lakukanlah dengan baik dan jangan ada keragu-raguan, jangan lihat siapa
yang kita bantu, dan setiap perbuatan pasti ada balasannya, tergantung apa yang
kita tanam. Sepertinya inilah amanat yang ingin pengarang sampaikan pada pembaca.
4.2.3.4 Perbedaan Gender
Sumatera
Barat sangat kaya akan budaya dan adat tradisi yang beraneka ragam dan
kepercayaan masyarakat setempat, seperti budaya Minangkabau, masyarakatnya
menganut matrilineal garis keturunan yang dipakai adalah garis keturunan dari
Ibu. Bagi masyarakat Minang ada
perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bagi mereka memiliki anak
perempuan lebih dibanggakan dan diagungkan karena membawa keberuntungan pada
keluarga dari pada anak laki-laki, karena pada dasarnya suku Minang menganut
budaya matrilineal yang terdapat di Indonesia. Seperti yang tergambar dalam
kutipan berikut ini.
Rumah hanya
untuk anak-anak perempuan. Beruntung
sekali menjadi perempuan di kampung kami.
(Muhammad, hal.20)
Karena anak laki-laki di kampung ini ketika beranjak besar, mereka tinggal di
suarau. Tidak ada tempat atau kamar untuk anak laki-laki. Rumah dan kamar hanya
untuk anak perempuan saja. Makanya menjadi anak perempuan di kampung kami itu
sangat beruntung dan menyenangkan selain bisa dekat dengan orang tua mereka
juga tidak mesti memikirkan kebutuhannya.
Rasa perbedaan bagi masyarakat setempat
sangat mencuat sekali, karena bagi mereka memiliki anak perempuan sangat
beruntung. Sebab anak laki-lakinya harus tinggal di surau sebagai adat. Walaupun
pada dasarnya adalah sebagai proses pendewasaannya untuk tidak bergantung pada
orang lain. Tetapi anak perempuan ini
lebih banyak mereka tinggal di rumah. Karena anak perempuan merupakan sebuah
aset bagi keluarga mereka untuk menambah roda perekonomian keluarga mereka.
Memiliki anak perempuan seperti menyimpan celengan gemuk. Seperti yang
tergambar dalam kutipan berikut ini.
Memiliki
anak permpuan di dusun Suayan seperti menyimpan celengan gemuk yang
sewaktu-waktu bisa di banting-hempaskan, tentu setelah pinangan datang.
(Muhammad,
hal. 116)
Sumatera Barat terlebih Minangkabau
yang memiliki banyak kebudayaan namun disislain ternyata mereka juga menjujung
tinggi antara anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka lebih membanggakan anak
perempun mereka daripada anak laki-lakinya.
Sebab bagi mereka anak perempuan merupakan harta bagi mereka guna
menambah kehidupan perekonomiannya. Sebab, anak perempuan di kampung Suayan
memiliki anak perempuan yang berwajah cantik, berkulit putih, dan tinggi yang
ideal. Seperti dalam kutipan berikut ini.
Sejak
dahulu kecantikan gadis-gadis Suayan belum terkalahkan oleh perempuan-perempuan
di dusun manapun manapun.
Bayi-bayi
perempun selalu terlahir dengan kecantikan yang menakjubkan. Mereka tumbuh dan
mendewasa menjadi gadis-gadis yang memilikibibir pipih, pipi merona, kulit
mulus seperti kulit orang jepang, hidung mancung seperti hidung orang Arab.
Postur tubuh tinggi, langsing, sintal seperti bintang film.
(Muhammad,
hal. 116)
Itulah sebabnya
mengapa orang-orang kampung kami lebih menyukai memiliki anak perempuan dari
pada anak laki-laki. Dengan memiliki anak perempuan mereka akan memiliki cukup
harta dan dapat mengubah ekonomi keluarga. Sebab ketika mereka dewasa kelak
mereka akan menjadi anak perempuan yang cantik dan sempurna. Ketika datang masa
untuk nikah mereka akan meminta mahar mereka sebanyak yang mereka inginkan.
Paling murah untuk membayar mahar adalah cukup untuk menebus empat bidang
ladang yang tergadai.
Untuk simpulan dari beberapa petikan di
atas penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Minang yang tergambar dalam kumpulan
cerpen Juru Masak ini selain beragam akan kebudayaannya, tetapi mereka
juga memiliki anak perempun yang terbilang sangat cantik. Masyarakatnya lebih
beruntung bila memiliki anak perempuan didalam keluarganya, sampai-sampai
mereka mengibaratkan memiliki anak perempuan ibarat memiliki celengan babi yang
gemuk. Yang sewaktu-waktu dan kapanpun bisa dipecahkan.
4.2.4 Watak dan Latar Belakang Budaya Tokoh
Di dalam
kumpulan cerpen Juru Masak ini para
tokoh yang digambarkan memiliki perbedaan watak dan latar budaya yang berbeda.
Adapun tokoh yang muncul pada ke-7
buah cerpen dari kumpulan cerpen Juru
masak karya Damhuri Muhammad adalah sebagai berikut.
1. Cerpen Sumanda,
adapun watak tokohnya adalah sebagai berikut.
1) Sumanda adalah sosok pemuda kampung yang baik,
rajin bekerja, dan beribadah sehingga ia sangat disayangi oleh guru ngajinya.
Berkat keuletannya, kesabaran, dan kerja kerasnya selama masih muda membuatnya
mampu mengubah ekonomi keluarga, semua adiknya bersekolah dan mendapatkan gelar
sarjana di kota.
Itu semua berkat kerja kerasnya selama masih muda dulu. Dalam latar
budayanyapun Sumanda termasuk dalam budaya asli orang-orang dari komunitas
Minang yang tinggal di kampung.
2) Zulfikar adalah pemuda kampung yang sukses di
negeri rantau. Itu semua karena budaya yang memaksanya untuk merantau. Dengan
keuletan, rajin, dan kerja kerasmembuahkan hasil yang sangat sukses
3) Teman-teman adalah Pemuda kampung miskin yang kurang
beruntung di negeri rantaupun mereka menglami hal yang sama pula. Mereka sangat
dermawan, setia pada kawan. Mengenai latar belakang budaya, mereka pun sama termasuk
kedalam orang-orang asli Minang
yang tinggal disuatu kampung.
2. Cerpen Juru
Masak, adapun yang watak tokohnya sebagai berikut.
1) Makaji,
adalah sosok bapak tua yang ramah dan sikap menolong pada siapa saja, tak
pernah ia memilih. Keahliannya adalah memasak, dan sekaligis ia adalah sebagai
kunci sebuah kehormatan pada pesta di kampungnya. Ketenarannya tak membuatnya
naik derajatnya, sebab tetap saja miskin. Mengenai latar belakang budaya termasuk asli Minangkabau, yang tinggal di
sebuah kampung, Lerah Panjang.
2) Mangkudun
adalah sosok setengah baya yang angkuh dan seorang yang kaya raya di kampung
Lerah Panjang. Nyaris hampir semua tanah kampung Lerah Panjang adalah miliknya.
Namun ketika martabat dan harga dirinya harus tercoreng tatkala pesta
pernikahan puterinya nyaris gagal.
3) Azrial
adalah putera bungsu makaji. Ia sosok
pemuda yang baik, jujur, dan ulet ini harus rela ia meranatu ke negeri orang
untuk memendam lukanya (lamarannya ditolak) dan kemiskinan, namun karena
keuletannya ia menjadi orang terkaya yang sukses di negeri rantau. Ia sama-sama
berlatar belakang budaya Minang, kampung Lerah Panjang.
4) Renggogeni
adalah mantan kekasih Azrial, dan puteri Mangkudun adalah sosok wanita yang
baik dan penurut.
3. Cerpen Tamu
dari Kampung, adapun watak tokohnya adalah sebagai berikut.
1) Tanur
adalah orang kampung yang merantau di Jawa dan memiliki keluarga yang
sederhana. Ia adalah sosok
laki-laki yang baik, bertanggung jawab, dan suka menolong.
2) Yanuar
adalah pemuda kampung yang mengaku satu kampung dan masih saudara dengan Tanur
yang mencoba merantau ke Jawa. Ia pemuda pengangguran, bemulut besar, malas,
dan suka menghayal. Ia bagai parasit. Ia memang sangat miskin, hidupnyapun
terlunta-lunta di negeri rantau.
3) Marni
adalah isteri Tanur ia wanita Jawa yang
sangat baik, keibuan, sabar, dan pandai dalam mengatur keuangan dapur. Ia
merasa kesal pada suaminya karena sikapnya yang suka selalu menolong,
sampai-sampai orang yang pura-pura
mengaku satu tanah kelahiranpun ia membantunya.
4. Cerpen Ratap
Gadis Suayan, adapun para watak tokoh sebagai berikut.
1) Raisya
adalah gadis si tukang ratap. Ia wanita malang
dan miskin ini harus jadi korban akibat ulah pamannya yang di jadikannya
sebagai jaminan hutang-hutangnya. Akhirnya wanita cantik, sabar, ulet dan
keibuan ini menjadi tukang ratap untuk menghidupi dirinya dan anak semata
wayangnya.
2) Datuk Pucuk adalah paman Raisya yang jahat. Semua
harta peninggalan ayahnya diambil paksa. Ia tidak kasihan pada Raisya walaupun
kemenakannya sendiri. Ia sendiri asli berlatar belakang Minang.
3) Nurman
adalah sosok laki-laki yang jahat dan tidak bertanggung jawab, ia adalah orang
kaya di kampungnya. Isterinya banyak termasuk Raisya. Diakhir hidupnya ia harus
merasakan sakit yang berkepanjangan dan diahiri dengan kematian. Termasuk
berlatar budaya Minang, kampung Lerah Panjang.
4) Laila adalah gadis cantik dan baik hati ini adalah
anak dari Raisya, selain baik ia pun
sangat patuh serta sayang pada ibunya. Ia termasuk asli budaya Minang juga.
5. Cerpen Jo Ampok, adapun watak tokohnya
adalah sebagai berikut.
1) Engku
adalah sosok pemuda kampung yang baik walaupun
hidupnya miskin, namun ia adalah sosok pemuda yang ulet dan rajin dalam
menimba ilmu telihat dari kegigihannya selesai sekolah walaupun hanya taraf
Aliyah.
2) Jo Ampok
adalah sosok pria setengah baya, walaupunn ia baik dan orang kaya yang hartanya takakan habis walau tujuh
turunanan. Namun, ada salah sifat yang kurang baik dari sosok Jo ampok ini
adalah sifatnya yang kecanduan dalam berjudi. Sampai-sampai ia dijuluki sebagai
raja judi, sampai ajalpun menjemputnya.
3) Sinaro adal
pria yang memiliki Lapau atau tempat warung kopi tempatnya orang-orang yang
melepas penat namun, dibalik itu semua ia juga menyediakan temapt di belakang
warungnya tewrsebut guna bermain judi.
6. Cerpen Tikam Kuku, adapun watak para
tokoh adalah sebagai berikut.
1) Dahlan
adalah sosok pemuada kampung yang baik dan sikapnya suka penolong terhadap
sesama walaupun orang itu pernah menyakitinya. Selain baik Dalahn juga pemuda
yang sakti karena ia mewarisi ilmu Tikam Kuku yang mampu mencakar dan menikam
hingga ususnyapun terurai
keluar bagi orang yang terkena tikamnya.
2) Jilatang Layur
adalah orang sakti yang di bayar oleh
Cen Bi untu menggertak para warga untuk menjual hasil tembakaunya dengan
harga murah.
3) Cen Bi
adalah orang terkaya namun ia jahat karena menindas warga untuk menjual hasil
panen tembakau pada dirinya dengan harga yang murah padahan ia sendiri
menjualnya dengan keuntungan yang berlipat.
7. Cerpen Pawang
Hujan, adapun watak tokohnya adalah sebagai berikut.
1) Iwik adalag
sosok pemuda kampung yang baik dan sifatny selalu menolong. Pada saat ia
merantau ia tersadarkan ketidak bolehanya dalam menggunakan ilmu pawang
hujannya semena-mena.
2) Satmoko
adalah ketua RW yang kurang peduli terhadap warganya di perumahan kawasan
elit yang sering menjadi langganan
banjir tiap tahunnya.
3) Rojak
adalah penjaga pos kawasan perumahan
elit yang miskin dan sedang terlilit utang. Rojak orang yang baik dan setia
kawan dan bertanggung jawab pada keluarga.
4) Jouhar
adalah teman Rojak dan Iwik yang baik dan setia bersama dengan Rojak. Ia juaga pemuda kampung yang miskin
dan baik hati.
4.2.5 Unsur
Budaya Kumpulan Cerpen Juru Masak Karya
Damhuri Muhammad
Adapun unsur budaya yang ada dalam kumpulan cerpen Juru masak ini, sejalan dengan apa yang
menjadi kisahan hidupnya semasa kecil yang hidup dan besar di surau. Walau pun
demikian namun disini penulis mencoba ingin menonjolkan berbagai hal penting
tentang budaya Sumatera Barat, khususnya wilayah kampung. Berikut unsur
budayanya.
1. Meskipun
berbeda pada umumnya di Sumatera Barat, namun agaknya berbeda dengan masyarakat
Minangkabau. Bagi masyarakat di wilayah kampung unsur religi atau kepercayaan
ini sangat dijunjung, selain untuk pondasi atau landasan dalam hidup dan pada
diri seseorang agar tetap selalu berlindung hanya pada-Nya, Tuhan
segala-galanya. Tetapi lebih pada adat dan kebiasaan bahwasannya mereka hidup tidak hanya untuk
didunia saja melainkan juga untuk akhirat. Seperti sosok Sumanda dan
teman-temannya tokoh salah satu cerpen Juru
Masak. Serta masyarakat kampungnya agar tidak meninggalkan surau. Sebab
ketika saatnya untuk pergi merantau, maka tidaklah susah. Halini dikarenakan
sudah biasa, sudah tidak canggung lagi terhadap surau di negeri rantau.
2. Budaya Minangkabau juga kental akan syarat budaya adat
istiadatnya. Hal ini terlihat dari kehidupan masyarakatnya yang masih
menggunakan tradisi dari leluhur mereka. Bagi masyarakat kampung melangsungkan
tradisi samadengan dengan menjunjung harga diri. Seperti warga kampung Lerah
Panjang misalnya, mereka akan malu bila dalam acara apapun bila tidak
menyajikan makanan yang pas dalam meracik bumbu-bumbu, sehingga dalam menyantap
makananpun tidak dibuat sakit perut olehnya.
Bila
tidak acara akan batal, dan gunjinganpun
bergumam dari para mulut tamu dan
warga sekitarnya. Tidak hanya acara kebahagiaan dalam acara kedukaanpun tak
luput dari gunjingan para tamu dan warga sekitar bila acara ratapan tak
diadakan. Ratapan yang memilukan akan
bergumam dari mulut Raisya gadis si tukang ratap dari Suayan. Ia akan meratap sejadi-jadinya, memilukan bagi
mereka yang mendengar lebih memilukan dari keluarga yang ditinggalkannya. Bagi
mereka tradisi harus dijunjung dan diadakan dengan demikian mereka merasa ada
dan hidup. Walau kesetaraanpun harus di bedakan. Bagi warga Minang di suatu
kampung anak laki-laki haruslah tinggal di surau tidak boleh tinggal di rumah.
Bila tidak cemooh dan olok-olok akan bergunjingan dari mulut kemulut hingga
meramaikan kampung.
3. Perbedaan
genderpun tak luput dari budaya bagi masyarakat Minang umumnya. Sangatlah
beperan andil dalam budaya Minang. Memang pada dasarnya suku Minang menganut budaya matrilineal. Di suatu
kampung anak perempuan lebih diagung-agungkan dari pada anak laki-lakinya. Bagi
kampung Suayan memiliki anak perempuan ibarat memiliki celengan babi yang
gemuk, karena suatu saat nanti dan kapanpun mau mereka bisa pecahkan. Maka
rumah-rumah mereka yang luas hanya kan diisi oleh anak
perempuan di kamarnya. Tidak ada istilah kamar dirumah untuk anak laki-laki.
Anak laki-laki akan tidur dan tinggal di surau hingga mereka saatnya untuk merantau
ke negeri orang.
4. Cara
hidup kekeluargaan sangat akrab dan erat sebagai suatu budaya yang harus
dijaga. Bagi masyarakat Minang hiduplah saling gotong royong dan membantu,
karena dengan menolong kita pun akan ada yang menolong lagi, halini sangat
berguna bila kelak hidup di rantau orang. Maka bagi orang Minanga saling
menolong dan bergotong royong harus menjadi budaya yang sudah dari sejak kecil
anak-anak harus ditanamkannya. Seperti Yanuar (tokoh dari salah satu cerpen Juru
masak) yang ditolong oleh Tanur walaupun bukan saudara kandungnya. Dan
tumpah ruah masyarakat bergotong royong dalam pembangunan masjid.
4.3 Kesesuaian
Kumpulan Cerpen Juru Masak Karya
Damhuri Muhammad dan Rencana Pelaksanaan Pembelajarannya di SMA
Dalam
pemilihan pelajaran sastra hendaknya para guru harus memilih karena adanya
suatu permasalahan. Sebab disini dituntut dan dirangsang untuk berfikir. Dengan
pemilihan bahan pembelajaran seorang guru tentu harus mampu dalam memotivasi
siswanya agar mampu menerima pembelajaran sastra dengan baik, terlebih pada
cerpen, dengan memperhatikan tiga kriteria dalam memilih bahan pembelajaran
sastra. Seperti yang diungkapkan oleh Rahmanto (1988: 27-33) ada tiga aspek
yang harus dimiliki yaitu: bahasa,
psikologi, dan latar budaya siswa.
Dilihat dari
aspek bahasa tentunya kumpulan cerpen ini sangat tepat karena memiliki bahasa
yang berbeda. Diantaranya bahasa yang dominan yang di gunakan hampir semua
judul cerpen ini bahasa Melayu, dan ada juga bahasa Jawa. Dengan membaca cerpen
ini diharapkan para siswa memperoleh tambahan
pembendaharaan kosa kata. Misal bagi siswa yang berada pada antara
daerah Rangkasbitung, Pandegelang dan Tangerang yang mayoritasnya memakai
bahasa Sunda dalam berkomunikasi sehari-harinya akan memperoleh pembendaharaan
bahasa Melayu dan daerah. Sedangkan bagi siswa yang berada di Serang dan Cilegon
yang mayoritasnya berbahasa Jawa
dalam berkomunikasi sehari-harinya tentu juga akan memperoleh pembendaharaan
bahasa Melayu dan daerah lain juga.
Ditinjau dari segi psikologis atau
dari kejiwaan adalah hal yang paling penting dalam menentukan kesesuaain dalam
pembelajaran cerpen di SMA. Karena dalam pemelajarannya siswa SMA tentu sudah
dapat mengimbangi hal-hal tentang kebaikan dan keburukan dalam hidup dan dalam
menghargai kehidupannya sehingga dapat paham apa yang sedang dibicarakan oleh
gurunya. Kematangan jiwapun sudah cukup, sebagaimana yang kita ketahui siswa
SMA berusia antara 15 samap 17 tahun. Dimana pada masa-masa seperti ini siswa
mencari jati dirinya.maksudnya mencari keyakinan pada hati dalam melakukan
suatu tindakan. Bagi siswa yang membaca kumpulan cerpen Juru Masak, para siswa akan disuguhkan berbagai peristiwa dan
menumbuhkan jiwa-jiwa untuk tetap melestarikan budaya bangsa. Bila kita kaitkan
dengan aspek kejiwaan siswa SMA, tentunya kita sebagi tenaga pendidik harus tetap
mendampingi dan memberikan arahan. Sebab dalam usia ini para siswa masih labil
maka, perlu adanya keyakinan dalam diri siswa.
Ditinjau dari aspek
budayanyapun, kumpulan cerpen Juru Masak
ini memiliki kebudayaan Minangkabau yang cukup kompleks. Didalam kumpulan
cerpen Juru Masak ini banyak sekali
yang mengandung berbagai macam unsur budaya Minang. Hal ini dapat dilihat dari
rasa saling tolong menolong, dan menjunjung tinggi adat tradisi yang telah
diwariskan oleh nenek moyang agar terus bertahan dari budaya barat. Seperti
yang dilakukan oleh dusun Suayan dalam mempertahankan tradisi ratapan disamping
pembaringan alamarhum. Atau seperti Tanur yang jiwa solodaritasnya dalam
menolong walaupun bukan saudaranya.
Bagaimanapun juga seorang guru tidaklah
mungkin dapat memungkirinya bahwa latar belakang sosial budaya siswanya. Oleh
karenanya itu, latar belakang budaya siswa akan mempengaruhi dalam proses
pembelajaran siswa. Apabila seorang
guru menyampaikan materi pelajaran atau dalam memberikan materi cerpen yang
sesuai dengan latar belakang budaya siswanya guna menarik minat mereka untuk
membacanya. Selain itu juga, dengan membaca karya sastra khususnya cerpen ini
semoga akan memberikan wawasan dan warna baru tentang kebudayaan yang ada disekitar mereka
tinggal.
4.4 Rencana Pelaksanaan Pembelajarannya
(RPP)
Adapun dalam rencana pembelajaraannya
hendaknya harus disesuaikan dengan tujuannya dalam pembelajaraanya. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam
pembelajaran di sekolah adalah menjadikan siswanya menjadi manusia yang berbudaya
dan berbudi pekerti yang luhur dalam usaha membentuk dan membangun kepribadian
siswa dan berwawasan lingkungan (budaya).
Karenanya, dalam penyusunan rencana
pelaksanaan pembelajaran tentu dibutuhkan pelaksanaan agar, yang menjadi tujuan
dari pembelajaran dapat tercapai. Berikut ini adalah rencana pelaksanaan
pembelajaran mendengarkan yang penulis susun dibawah ini.
RENCANA PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN
(RPP)
Sekolah : SMA
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : XI/2
Standar
Kompetensi : Mendengarkan
Memahami pembacaan cerpen
Kompetensi Dasar : Menemukan
nilai moral, budaya, dan sosial dalam cerpen yang dibacakan
Indikator : Menemukan nilai moral,
budaya, dan sosial dalam cerpen
Mendiskusikan nilai-nilai tersebut
Alikasi waktu :
2 x 40 menit (1 x pertemuan)
1. Tujuan
Pembelajaran
Siswa diharapkan mampu untuk menjelaskan unsur intrinsik serta mampu
untuk menjelaskannya nilai budaya yang terkandung dalam cerpen.
2. Materi Pembelajaran
1. pengertian cerpen
2. pengertian unsur intrinsik
3. pengertian unsur ekstrinsik (nilai moral, budaya, dan sosial)
4. unsur budaya
3.
Metode Pembelajaran
1. ceramah
2. tanya jawab
3. penugasan
4. inkuiri
4.
Langkah-langkah Kegiatan pembelajaran
a. Kegiatan
Awal
1. Guru mengabsen siswa
2. Guru memperlihatkan sebuah
kumpulan cerpen
b. Kegiatan Inti
1. Guru
menjelaskan materi tentang pengertian cerpen
2. Guru menjelaskan unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik
3. Guru menunjuk beberapa orang
siswa untuk melakukan diskusi
4. Guru dan siswa tanya jawab
c. Kegiatan
Akhir
1. Guru memberi
penugasan, tentang unsur-unsur dan
nilai-nilai budaya
2. Guru memberi simpulan pada
siswa
3. Guru dan siswa melakukan
refleksi
5. Sumber
atau Bahan Belajar
1. Buku kumpulan cerpen Juru Masak
karya Damhuri Muhammad
2. Buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas XI
6. Penilaian
1. Teknik :
Tugas individu
2. Bentuk Instrumen :
Tes uraian bebas
1. Nilai-nilai
apa yang terkandung dalam kumpulan cerpen Juru masak ?
2. Unsur budaya
apa yang ada pada kumpulan cerpen Juru
Masak ?
Kriteria Penilaian
Aspek
|
Kriteria
Penilaian
|
Skor
|
Siswa dapat
menyebutkan nilai-nilai yang ada pada kumpulan cerpen Juru Masak
|
Benar dan
tepat
Kurang tepat
Tidak tepat
|
60
30
10
|
Siswa mampu
menyebutkan unsur-unsur budaya yang ada pada kumpulan cerpen Juru Masak
|
Benar dan
tepat
Kurang tepat
Tidak tepat
|
60
30
10
|
Serang, Maret 2011
Guru
Mata Pelajaran
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Manusia
sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan tentu akan terus berhadapan yang
namanya problematika kebudayaan. Salah satu yang harusa diperhatikan adalah
bagaimana kita dalam menyikapi perkembangan dan perubahan kebudayaan.
Kebudayaan akan terus mengalami perubahan selama kita, manusia masih ada
kehidupan di muka bumi ini. Karena kebudayaan bersifat dinamis. Hal yang
terpenting dari semua itu adalah bagaimana kita harus menyikapi dan memilih
kebudayaan asing yang masuk dan usaha bagaimana kita mengembangkan kebudayaan
asli yang kita miliki.
Berdasarkan hasil dari analisis
terhadap kumpulan cerpen Juru Masak karya Damhuri Muhammad yang dilakukan dalam
bab IV, di sini penulis hanya menyampaikan beberapa kesimpulan dan saran
sebagai hasil dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Adapun beberapa
hasil dari simpulan itu adalah sebagai berikut.
1. Meskipun umumnya di Sumatera Barat, tapi, berbeda
pula untuk masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minang unsur religi atau
kepercayaan ini sangat dijunjung selain untuk sebuah pondasi atau landasan pada
diri seseorang agar tetap berlindung pada-Nya, Allah yang bisa segala-galanya.
Bagi masyarakat tempat untuk memupuk pondasi itu adalah surau. Sehingga
surau selalu dipenuhi oleh riuh suara anak-anak yang mengaji, bahkan tidak
hanya dibulan puasa saja. Bagi mereka
surau bukan hanya sebagai tempat tinggal, tempat untuk menuntut ilmu agama,
mengaji, wiridan, dan solat berjamaah, tetapi lebih pada itu adalah proses
pendewasaan bagi anak laki-laki agar tidak bergantung lagi pada orang lain
ketika dirantau.
2. Budaya Minangkabau juga kental akan syarat
budaya adat istiadatnya. Terlihat dan
tercermin dari kehidupan masyarakatnya yang masih menggunakan tradisi dari
leluhur mereka. Baik kesetaraan maupun sesama masyarakat. Bagi warga
Minangkabau harga diri merupakan inti dari sebuah kehidupan. Dimana masyarakat
di Lerah Panjang misalnya, mereka malu dan merasa terhina ketika dalam acara
penjamuan masakan atau makanan yang tersaji tidak enak bagi mereka para tamu
dan undangan yang datang. Acara akan batal dan bubar, dan gunjingan akan
bergumam dari para mulut tamu, dan warga masyarakat disekitar. Karena dalam
penjamuannya tidak menghargai para tamu dan undangan yang datang.
Dalam acara kematianpun tak luput dari gunjingan para mulut tamu dan
masyarakat sekitar, karena tidak melangsungkan adat dan tradisi yang sudah ada
sejak leluhur mereka ada. Gunjingan itu
akan ada bila tidak ada ratapan-ratapan yang memilukan dari orang yang bisa
meratap. Seperti Raisya si tukang ratap dari Suayan, yang lebih dalam
ratapannya dari pada keluarga yang ditinggalkannya. Bagi masyarakat Minang
tradisi harus ada dan dijunjung, sebab dengan tradisi mereka merasa ada dan
hidup. Bahkan kesetaraanpun harus dijunjung dan dibedakan, bagi warga
Minangkabau, disuatu kampung anak laki-laki haruslah tinggal disurau. Tidak
boleh di rumah. Bila tidak cemoohan dan gunjingan dari para mulut tetangga akan
berhamburan.
3. Perbedaan genderpun sangat dijunjung bagi masyarakat Minang. Karena sangat berperan andil dalam budaya
Minang. Disuatu kampung anak perempuan akan lebih diagung-agungkan dari pada
anak laki-lakinya. Seperti warga kampung
Suayan anak perempuan ibarat kita menyimpan celengan babi yang gemuk, yang
suatu saat nanti bisa dipecahkan kapan saja mereka mau. Maka, wajar bila di
rumah-rumah mereka yang luas hanya akan
diisi oleh anak-anak perempuan di kamarnya. Tidak ada istilah kamar untuk anak
laki-laki. Mereka akan tidur dan tinggal di surau hingga waktunya tiba bagi
mereka, anak laki-laki Minang.
4. Cara
hidup kekeluargaan sangat erat dan akrab
sebagai suatu budaya yang harus dipupuk dan dijaga. Bagi masyarakat Minang hidup saling gotong royong merupakan cerminan
hidup yang damai. Bergotong royong dan
membantu merupakan sikap budaya yang harus ditanamkan pada jiwa-jiwa orang
Sumatera Barat khususnya masyarakat Minang.
Bagi masyarakat Minangkabau sikap saling membantu harus ada dan
dilahirkan serta ditumbuhkembangkan, sehingga ketika sudara kita ada dirantau
maka akan terpanggial jiwanya untuk sama-sama saling membantu seperti keluarga
Tanur yang tinggal didaerah Jawa ketika
sudara satu tanah kelahiran dengannya maka Yanuar di sambut dan dijemput oleh
Tanur di stasiun Tugu. Bagi masyarakat Minangkabau saling tolong menolong
sangatlah penting dan berarti apalagi di negeri rantau orang.
5.2 Saran
Bagi
penulis adapun saran-saran yang ingin disampaikan pada para pembaca adalah
khususnya bagi kumpulan cerita pendek sebagai berikut.
1.
Bagi guru bahasa dan sastra
Indonesia adalah, peningkatan mutupembelajaran sastra di SMA salah satunya
ialah keefektifan guru dalam memilih
bahan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan siswa dan perkembangan
kesusasteraan Indonesia. Dalam memilihbahan pembelajaran sastra, sebaiknya para
pengjar sastra memberikan materi pembelajaran harus disesusikan dengan perkembangan
psikologis siswa, latar belakang sosial budaya siswa, dan system bahasa
siswanya.
2. Bagi dunia pembelajaran, hasil dan penelitian
ini bermanfaat untuk memperkaya bahan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA dalam proses
kegiatan belajar-mengajar bahasa Indonesia. Selain itupula,
penelitian ini berupaya memberi manfaat dalam hal menyusun rencana pembelajaran
yang inovatif sehingga siswa dapat lebih tertarik untuk belajar dan mapu
menyerap materi dengan maksimal. Bahan
pembelajaran sdastra yang baik harus didukung oleh semua komponen yang ada.
Baik guru dan murid, materi dan rencana pembelajaran dengan keleluasaan tanpa
merasa bosan dan jenuh.
3. Untuk
siswa adalah, diharapkan kehadiran cerpen atau cerita pendek ini dalam pelajaran
sastra akan menambah pembendaharaan bahan pembelajaran yang akan
disampaikan. Cepen hanyalah sebagai
media untuk meningkatkan apresiasi siswa. dengan membaca cerpen ini diharapkan
para siswa akan meningkatkan apresiasi siswa. dengan ini pula siswa akan
terlatih untuk mencintai karya sastra, dan pada akhirnya para siswa akan
merasakan manfaat dari membaca. Dengan mempertimbangkan manfaat membaca cerpen ini adalah sebagai kehidupan,
selayaknya siswa menjadikan cerpen ini sebagai salah satu bacaan untuk
memperkaya wawasan ilmu pengetahuan dan tujuannya tak lain adalah agar siswa
dapat menyerap pesan-pesan sastrawan yang terkandung di dalam karya sastranya.
4. Bagi
peneliti adalah diharapkan dapat meneliti keseluruhan aspek yang ada dan belum
diteliti oleh peneliti saat ini perlu diadakan penelitian lanjut terhadap
analisis budaya dari Kumpulan cerpen yang berbeda seta dari karakteristik unsur
budaya yang berbeda pula.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1998. Prosedur
Penelitian Suatu pendekatan praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Arifin, Syamsir.
1991. Kamus Sastra Indonesia.
Padang: Angkasa Raya.
Djajasudarma, Fatimah. 2006. Metode
Linguistik Ancangan: Medode dan Kajian. Bandung: Eresco.
Endraswara,
Suardi. 2008. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Medpress.
Esten, Mursal.
1993. Kesusasteraan Pengantar dan
Sejarah. Bandung: Angkasa.
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi
Sosial Budaya Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat.
2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Majid, Abdul. 2005. Perencanaan pembelajaran, Mengembangkan Standar
kompetensi Guru. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Muhammad,
Damhuri. 2009. Juru Masa. Depok:
Koekoesan.
Mulyasa. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Moleong, Lexi J. 2006. Metodologi
Penelitian kualitatif edisi revisi. Bandung: rosdakarya.
Marahimin,
ismail. 2005. Menulis Secara Populer.
Jakarta:
Pustaka Jaya.
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Rampan, korrie
Layun. 1999. Aliran Jenis Cerita Pendek.
Jakarta: Balai Pustaka.
Rahmanto, B.
1993. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Semi, Atar.
1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung:
Angkasa.
Sudjiman,
Panuti.1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press
Sumardjo, Yakob dan Saini, K.M
(1988). Apresiasi kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.
Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan
R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sastrowardoyo,
Subagio.1999. Sastra dan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Zaidan, Abdul
Rozak, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah. Dkk. 2004. Kamus Istilah sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis lahir di Serang
pada tanggal 6 Mei 1988, dari ibu yang bernama Karni dan Ayah yang bernama M.
Sidin. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Adapun perjalanan
pendidikan formal penulis dimulai sejak tahun 1994. Pada tahun tersebut penulis
sudah masuk Sekolah Dasar Negeri Kesatrian di Banten dan lulus pada tahun 2000.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar penulis
langsung masuk MTs Massaratul Muta’allimin Banten, dan lulus pada tahun 2003.
Kemudian melanjutkan ke SMK Pasundan 1 Serang, dan lulus pada tahun 2006.
Setelah lulus penulis berkesempatan untuk lanjut ke jenjang Perguruan Tinggi
Negeri Untirta Serang Banten. Masuk pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar